Juz 1 Ustad Abu Usaamah, Lc

Kamis, 03 Maret 2016

PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN ANAK USIA DINI

PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN ANAK USIA DINI



A.      PENDAHULUAN
Pertumbuhan dan perkembangan merupakan dua istilah yang mempunyai pengertian yang berbeda, namun keduanya memiliki keterkaitan yang sangat erat bahkan tidak dapat dipisahkan antara yang satu degan lainnya.  Pertumbuhan merupakan proses kuantitatif yang menunjukkan perubahan yang dapat diamati secara fisik. Pertumbuhan dapat diamati melalui penimbangan berat badan, pengukuran tinggi badan, lingkar kepala dan sebagainya. Sementara itu, perkembangan merupakan proses kualitatif yang menunjukkan bertambahnya kemampuan (ketrampilan) dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang beraturan dan dapat diramalkan sebagai hasil dari proses pematangan.
Perkembangan berkenaan dengan keseluruhan kepribadian individu, karena kepribadian individu membentuk suatu kesatuan yang terintegrasi. Secara sederhana aspek utama kepribadian dapat dibedakan sebagai berikut: aspek fisik motorik, aspek intelektual, aspek sosial, aspek bahasa, aspek emosi, aspek moral, dan aspek keagamaan (Sukmadinata, 2009: 114).
Tahap perkembangan manusia memiliki fase-fase yang cukup panjang. Untuk tujuan pengorganisasian dan pemahaman, pada umumnya perkembangan digambarkan dalam periode-periode atau fase-fase tertentu. Klasifikasi periode perkembangan yang paling luas digunakan sebagaimana dikemukakan oleh Santrock (1993) meliputi urutan sebagai berikut:  Periode pra kelahiran (prenatal period), periode bayi (infacy period), periode awal anak-anak (early childhood period), periode pertengahan dan akhir anak anak (middle and late childhood period), periode remaja (adolescence period), periode awal dewasa (early adulthood period), periode pertengahan dewasa (middle adulthood period), dan periode akhir dewasa (late adulthood period).
Periode masa bayi dan kanak-kanak awal (usia dini) merupakan masa awal yanag sangat menentukan bagi perkembangan individu pada tahap-tahap kehidupan selanjutnya. Periode kanak-kanak awal dikatakan sebagai periode keemasan (the golden years) dimana individu mulai memasuki masa peka. Masa peka pada masing-masing anak berbeda, seiring dengan laju pertumbuhan dan perkembangan anak secara individual. Laju perkembangan dan pertumbuhan individu mempengaruhi masa keemasan dari masing-masing individu itu sendiri. Sangatlah tidak dapat dipisahkan antara perkembangan dan pertumbuhan terutama pada anak usia dini. Perkembangan motorik dan fisik individu sangatlah berhubungan dengan pertumbuhan psikisnya. Oleh karena itu psikologi perkembangan anak usia dini berkaitan sangat erat dengan pertumbuhan dan perkembangan secara menyeluruh. Masa ini sering disebut sebagai masa peka, yaitu masa terjadinya kematangan fungsi fisik dan psikis yang siap merespon stimulasi yang diberikan oleh lingkungan. Perhatian serius dari para pendidik (orang tua maupun guru) sangat diperlukan pada masa ini karena periode ini merupakan masa peletak dasar untuk mengembangkan kemampuan kognitif, motorik, bahasa, sosio emosional, moral, dan agama yang tentunya akan sangat berpengaruh terhadap kehidupan anak di masa yang akan datang.
Berikut ini akan dikemukakan pembahasan tentang perkembangan anak usia dini. Permasalahan yang akan dibahas adalah perkembangan anak pada masa bayi (usia 0-2 tahun) dan perkembangan masa kanak-kanak awal (usia 2 – 6 tahun).

B.       PERKEMBANGAN ANAK USIA 0 – 2 TAHUN
Periode perkembangan yang merentang dari kelahiran hingga usia 24 bulan (0 -2 tahun) disebut sebagai periode atau masa bayi (infacy period). Masa ini merupakan masa yang sangat bergantung kepada orang dewasa. Banyak kegiatan psikologis yang terjadi seperti bahasa, pemikiran simbolis, koordinasi sensorimotor, dan belajar sosial hanya sebagai permulaan.
Banyak ahli yang menyebut masa bayi sebagai masa fital, karena kondisi masa bayi merupakan pondasi pada pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya. Masa bayi dimulai dengan kelahiran yang diikuti dengan tangis pertama. Bayi lahir tanpa diikuti tangis pertama, harus diupayakan supaya menangis, misalnya pantatnya dipukul-pukul secara perlahan-lahan, dikipasi, atau dimasukan udara kedalam paru-parunya. Tangis pertama merupakan tanda masuknya udara keparu-paru, sehingga paru-paru berkembang dan mulai berfungsi. Jika udara tidak masuk ke paru-paru maka dapat menyebabkan kematian.
Secara umum tumbuh kembang bayi dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu:
1.    Perkembangan fisik-motorik
Pertumbuhan yang pesat selama rentang kehidupan terjadi pada masa bayi. Meskipun pola umum dari pertumbuhan dan perkembangan adalah sama bagi semua bayi, tetapi tetap ada perbedaan dalam hal tinggi badan, berat badan, kecepatan, kemampuan sensomotorik dan bidang perkembangan fisik lainnya. Beberapa bayi memulai kehidupan dengan badan yang lebih kecil dan perkembangan yang kurang normal. Hal ini bisa saja disebabkan oleh kelahiran sebelum waktunya (premateur), ibu yang belum cukup umur atau  kondisi fisik yang buruk pada saat mengandung seperti kekurangan gizi dan mengalami tekanan, kondisi kurang baik lainnya selama periode pranatal, atau mungkin juga karena adanya sebab-sebab yang lain. Perlu diingat bahwa selain masing-masing individu mempunyai tempo perkembangan yang berbeda-beda, perkembangan individu juga sangat dipengaruhi oleh faktor hereditas dan faktor lingkungan (Soemanto, 2006: 60-61).
Pada masa ini, umumnya bayi mengalami pertumbuhan fisik yang sangat pesat. Berat badan bertambah dengan cepat, begitu pula dengan tinggi atau panjang badan, besar atau lingkar kepala. Pertambahan volume serta pengerasan tulang telah dimulai pada tahun pertama, ubun-ubun anak yang ketika pertama lahir terbuka atau belum terbentuk tulang tempurung akan tertutup pada usia delapan belas bulan. Jaringan lemak bertambah pesat karena tingginya kadar lemak di dalam air susu yang menjadi makanan pokok bagi bayi.
Rata-rata anak mempunyai empat hingga enam gigi susu pada usia satu tahun dan enambelas buah gigi susu pada usia dua tahun. Gigi yang pertama kali muncul adalah gigi seri atau gigi depan, sedangkan yang terakhir adalah gigi geraham.
Secara umum pada masa bayi (usia 0-2 tahun), individu mengalami perubahan yang pesat bila dibandingkan dengan yang akan dialami pada fase-fase berikutnya. Anak sudah memiliki kemampuan dan keterampilan dasar yang berupa: keterampilan lokomotor (berguling, duduk, berdiri, merangkak dan berjalan), keterampilan memegang benda, penginderaan (melihat, mencium, mendengar dan merasakan sentuhan), maupun kemampuan untuk bereaksi secara emosional dan sosial terhadap orang-orang di sekelilingnya.
Individu dianggap sehat secara fisik apabila menampakkan pola urutan kematangan yang umum pada peristiwa biologis dari susunan saraf pusat yang menyebabkan timbulnya fungsi psikologis. Timbul kemampuan bicara antara usia satu sampai dengan tiga tahun pada hampir semua anak merupakan gambaran dari kematangan fungsi psikologis pada usia tersebut. Seorang bayi yang baru berusia tiga bulan barang kali dapat mengeluarkan bunyi atau suara (berceloteh), namun otak seorang bayi yang baru berumur tiga bulan belum cukup matang untuk dapat mengerti pembicaraan ataupun berbicara. Sementara itu, anak berusia 2 tahun yang otaknya sudah cukup matang, tidak akan berbicara bila tidak berhubungan terlebih dahulu dengan orang lain. Kematangan bukanlah penyebab timbulnya  suatu fungsi psikologis, ia hanya merupakan batas waktu yang paling dini dari penampakannya (Mussen dkk, 1988: 75).
Setiap bayi terlahir dengan sejumlah refleks. Refleks-refleks tersebut merupakan modal dasar bagi bayi untuk mengadakan reaksi dan tindakan yang bersifat aktif. Beberapa dari refleks ini akan menghilang dalam waktu tertentu dan disebut refleks anak menusu atau refleks bayi. Sedangkan sebagian refleks yang tidak hilang disebut refleks permanen. Beberapa refleks anak menusu atau refleks-refleks sementara  yang dimiliki bayi yang baru lahir antara lain:
a.      Refleks moro; Refleks ini tampak pada gerakan bayi mengembangkan tangannya melebar ke samping, melebarkan jari-jarinya lalu mengembalikan tangannya dengan tarikan cepat seakan-akan ingin memeluk seseorang. Refleks ini disebut juga refleks peluk.
b.      Refleks mencium-cium atau “rooting-reflex”; Refleks ini ditimbulkan oleh stimulasi taktil pada pipi atau daerah mulut. Bayi memutar-mutar kepalanya seakan-akan mencari punting susu.
c.       Refleks hisap; Refleks hisap biasanya timbul bersama-sama dengan rangsang pipi. Refleks ini mempunyai fungsi eksploratif yang menenangkan.
d.      Refleks genggam atau refleks Darwin,; Refleks ini dapat dibuktikan dengan membuat rangsang melalui goresan jari melalui bagian dalam lengan anak ke arah telapak tangannya. Bila rangsang hampir sampai pada telapak tangan maka telapak tangan akan terbuka. Selanjutnya bila jari diletakkan pada telapak tangan, maka anak akan menutup telapak tangannya tadi.
e.       Refleks Babinski (refleks genggam kaki). Bila ada rangsang pada telapak kaki, ibu jari kaki akan bergerak ke atas dan jari-jari lain membuka. Kedua refleks genggam ini akan menghilang pada sekitar 6 bulan (Monks dkk, 1992: 75).

Adapun kondisi atau keadaan panca indera bayi yang baru lahir antara lain dapat digambarkan sebagai berikut:
a.         Indera Penciuman/Pembau; Bayi yang baru lahir tidak menampakkan tanda-tanda bahwa indera penciumannya telah berkembang meskipun belum banyak penelitian mengenai hal ini. Bayi hanya nampak memalingkan kepalanya bila ada bau yang tidak enak.
b.        Indera Perasa/Pengecap;  Bayi yang baru lahir sudah bisa bereaksi dengan menyengirkan mukanya bila mengecap sesuatu yang tidak enak.
c.         Indera Peraba; Pada bulan terakhir periode fetal bayi sudah mulai merasakan rasa tekan dan sakit, meskipun masih global dan belum jelas. Bayi juga mempunyai jenjang rasa suhu yang lebar, dari jauh diatas sampai jauh di bawah suhu badan normal.
d.        Indera Penglihatan; Bayi mengadakan reaksi terhadap perbedaan intensitas stimulus-stimulus visual melalui refleks biji mata.
e.         Indera Pendengaran; Bayi yang baru dilahirkan sudah dapat mendengar, ia mengadakan reaksi terhadap stimulus-stimulus auditif (Monks dkk, 1992: 76).

Sebagaimana telah dikemukakan, bayi yang baru lahir dapat menunjukkan beberapa variasi refleks motorik yang kompleks. Beberapa diantaranya dibutuhkan untuk kelangsungan hidup. Bayi akan mengikuti cahaya yang bergerak dengan mata mereka, mengisap putting susu yang dimasukkan ke dalam mulut, menengok pada sentuhan di ujung mulut, dan menggeram sesuatu yang diletakkan di telapak tangannya.
Beberapa pola dan tingkah laku motorik pada bayi makin lama makin bertambah baik serta terkoordinasi, makin cermat, dan makin tepat. Hal ini, antara lain tampak pada tingkah bayi berikut ini:
a.      Kinestesi ; Bayi yang baru dilahirkan sudah mempunyai aktivitas kinestetik, yaitu sudah mempunyai gerakan penghayatan, gerakan aktif, dan sudah dapat merasakan gerakan-gerakannya. Termasuk juga dalam golongan ini pengamatan tingkah laku sendiri. Sebelum dilahirkan, fetus juga dapat melakukan aktivitas kinestesi meskipun masih sangat terbatas.
b.      Duduk ; Rata-rata, pada usia dua sampai tiga bulan bayi dapat duduk dengan bantuan orang dewasa dan pada usia tujuh bulan bayi dapat duduk sendiri tanpa bantuan orang lain.
c.       Merangkak dan merayap ; Walaupun ada perbedaan individual antara masa bayi ketika merangkak dan merayap, semua bayi yang dibolehkan bergerak di tanah cenderung mengikuti urutan yang sama. Usia rata-rata untuk dapat merangkak (bergerak dengan perut terletak pada lantai) kurang lebih lebih sembilan bulan. Merayap dengan tangan dan lutut terlihat pada usia 10 bulan. Seorang bayi dapat melampaui satu atau lebih tahap-tahap dalam perkembangan, namun kebanyakan bayi melalui sebagian besar tahap-tahap tersebut.
d.      Berdiri dan Berjalan ; Kebanyakan bayi sudah dapat berdiri beberapa minggu sebelum mereka dapat berjalan. Biasanya bayi dapat berjalan pada usia kurang lebih satu tahun meskipun ada banyak variasinya antara 9-15 bulan.
e.       Memegang/Menggenggam : Antara minggu ke-16  dan ke-52 bayi dapat memegang sesuatu dengan baik. Sekitar usia lima bulan anak dapat memegang sesuatu yang dilihatnya. Bayi usia satu bulan akan memandang benda sesuatu tetapi ia tidak akan memegangnya. Anak usia dua setengah bulan akan memukulnya dan sekitar usia empat bulan ia mencoba untuk menyentuhnya. Baru pada usia lima bulan ia mencoba untuk memegang/ meraihnya. Kemampuan ini tergantung pada pematangan fungsi-fungsi organ pada anak (faktor internal) maupun pengaruh lingkungan (faktor eksternal).
Kemampuan anak untuk dapat duduk, berdiri, berjalan, dan sebagainya tergantung pada kematangan system saraf dan otot, dan kesempatan untuk mempraktekkan kemampuan motorik. Walaupun kemampuan kematangan dapat berkembang tanpa pelajaran khusus, namun pembatasan kesemptan untuk mempraktekkan dapat menghalangi perkembangannya. Selain itu latihan khusus dapat memfasilitasi perkembangan motorik.

2.    Perkembangan Kognitif
Perkembangan kognitif adalah salah satu aspek perkembangan manusia yang berkaitan dengan pengertian (pengetahuan), yaitu semua proses psikologis yang berkaitan dengan bagaimana individu mempelajari dan memikirkan lingkungannya (Desmita, 2010: 103).
Syah (2008: 67) menyatakan bahwa hasil-hasil riset kognitif menyimpulkan bahwa semua bayi manusia sudah berkemampuan menyimpan informasi-informasi yang berasal dari penglihatan, pendengaran, dan informasi-informasi yang diserap melalui indera lainnya. Selain itu, bayi juga  berkemampuan merespons informasi-informasi tersebut secara sistematis. Hasil riset para ahli psikologi kognitif menyimpulkan bahwa aktivitas ranah kognitif manusia pada prinsipnya sudah berlangsung sejak masa bayi, yaitu pada rentang usia 0-2 tahun.
Jean Piaget sebagaimana dikutip oleh Daehler & Bukatko (1985) mengklasifikasi perkembangan kognitif anak menjadi empat tahapan yaitu:
a.         Tahap Sensory-Motor; perkembangan aspek kognitif yang terjadi pada usia   0-2 tahun
b.        Tahap Pre-Operational; perkembangan aspek kognitif yang terjadi pada usia 2-7 tahun
c.         Tahap Concrete-Operational; perkembangan aspek kognitif yang terjadi pada usia 7-11 tahun
d.        Tahap Formal-Operational; perkembangan aspek kognitif yang terjadi pada usia 7-11 tahun
Sebagian besar psikolog terutama para kognitivis (ahli psikologi kognitif) berkeyakinan bahwa proses perkembangan kognitif manusia telah berlangsung sejak dilahirkan (Syah, 2008: 66). Selama perkembangan dalam periode sensori motor yakni sejak lahir sampai dengan usia dua tahun, intelegensi yang dimiliki individu masih bersifat primitif dalam arti masih didasarkan pada perilaku terbuka. Sekalipun primitif dan terkesan tidak penting, namun intelegensi sensori motor merupakan intelegensi dasar yang sangat berarti sebagai fondasi bagi intelegensi tipe-tipe tertentu yang akan dimiliki individu di kemudian hari.
Intelegensi sensori-motor dipandang sebagai intelegensi praktis (practical intelligence) yang bermanfaat bagi individu usia 0-2 tahun untuk belajar berbuat terhadap lingkungannya sebelum ia mampu berpikir mengenai apa yang sedang ia perbuat. Individu pada periode ini belajar bagaimana mengikuti dunia kebendaan secara praktis dan belajar menimbulkan efek tertentu tanpa memahami apa yang sedang ia perbuat kecuali hanya mencari cara melakukan perbuatan sebagaimana tersebut di atas.
Ketika seorang bayi berinteraksi dengan lingkungannya, ia akan mengasimilasikan skema sensori-motor sedemikian rupa dengan mengerahkan kemampuan akomodasi yang ia miliki hingga mencapai ekuilibrium yang memuaskan kebutuhannya. Proses asimilasi dan akomodasi dalam memncapai ekuilibrium sebagaimana tersebut selalu dilakukan bayi, baik ketika ia hendak memenuhi dorongan lapar dan hausnya maupun ketika bermain dengan benda-benda mainan yang ada disekitarnya.
Setelah Piaget melakukan serangkaian eksperimen dan observasi terhadap sejumlah subjek bayi termasuk anaknya sendiri Jacquiline yang baru berusia tujuh bulan, ia menyimpulkan bahwa bayi di bawah usia 18 bulan pada umumnya belum memiliki pengenalan terhadap object permanence (anggapan bahwa sebuah benda akan tetap ada walaupun sudah ditinggalkan atau tidak dilihat lagi). Artinya, benda apapun yang tidak dilihat oleh bayi, tidak dia dengar, tidak dia sentuh selalu dianggapnya tidak ada, sekalipun benda itu sesungghnya ada di tempat lain ((Syah, 2008: 69).
Bagaimana mengenal puting-puting susu ibu yang setiap saat diperlukan, pada dasarnya bayi sudah mengenal bahkan memahami objek-objek di sekitarnya termasuk susu ibu walaupun hanya dengan sensori-motor schema (skema sensori-motor adalah sebuah atau serangkaian perilaku terbuka yang tersusun secara sistematis untuk merespons lingkungan yang berupa barang, orang, keadaan, atau kejadian). Dengan skema sensori-motor ini bayi mengenali benda-benda sebagai konfigurasi-konfigurasi (gambaran bentuk sesuatu) sensori yang stabil. Konfigurasi itu oleh Piaget disebut “tableaux” atau “tableau” (baca: teblow) yakni pemandangan tetap atau pertunjukan bisu.
Setiap bayi sejak usia dua minggu sudah mampu menemukan puting-puting susu ibunya dan selanjutnya ia belajar mengenal sifat, keadaan, dan cara yang efektif untuk mengisap sumber makanan dan meminumnya. Kemampuan mengenal melalui upaya belajar tersebut tidak berarti si bayi mengerti bahwa susu ibunya tersebut merupakan organ atau bagian dari tubuh ibunya. Yang ia pahami adalah apabila benda tableau itu didekatkan maka ia akan mengasimilasi dan mengakomodasikan skema sensori-motornya untuk mencapai ekuilibrium dalam arti dapat memuaskan atau emenuhi kebutuhannya. Dalam rntang usia 18 hingga 24 bulan, barulah kemampuan mengenal object permanence individu tersebut muncul secara bertahap dan sistematis. Benda-benda mainan dan orang-orang yang biasa berada di sekitarnya akan dicari dengan sungguh-sungguh jika ia memerlukannya.
Dasar tingkah laku bahasa pada periode bayi telah ada sejak tahun pertama. Pada usia kurang lebih enam minggu bayi mulai meraban (bercdeloteh). Meraban ini dapat dipandang sebagai permulaan bahasa dan pada sekitar tahun pertama anak mulai mengucapkan kata-kata pertama. Pada bagian kedua tahun pertama anak sudah bisa mengadakan semacam dialog dengan dirinya sendiri. Dalam hubungan ini kehadiran orang-orang di sekelilingnya yang memberikan reaksi terhadap pernyataan-pernyataan anak memiliki arti penting dan sangat membantu. Hal ini sangat penting bagi perkembangan vokal dan sosialisasinya (Monks dkk, 1992: 81).

3.    Perkembangan Psiko-Sosial
Perkembangan psikososial berhubungan dengan perubahan-perubahan perasaan atau emosi dan kepribadian, serta perubahan dalam bagaimana individu berhubungan dengan orang lain. Meskipun dalam pemenuhan kebutuhannya bayi masih sangat tergantung kepada pengasuhnya, namun bukan berarti mereka sama sekali pasif. Sejak lahir, pengalaman bayi semakin bertambah dan ia berpartisipasi aktif dalam perkembangan psikososialnya sendiri, mengamati dan berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya.
Bayi yang sedang tumbuh menjadi lebih dewasa memiliki kedekatan dan keterikatan emosional dengan orang-orang penting dalam hidupnya. Hal ini terlihat misalnya, bayi menangis ketika didekati oleh orang yang tidak dikenalnya, dan dia menyambut hangat ketika didatangi oleh ibu atau bapaknya. Bayi juga berpartisipasi dalam menjalin hubungan dengan cara-cara yang lebih halus, seperti ikut bermain  bersama saudaranya yang lebih tua. Lebih dari itu, bayi juga menyatakan perasaan atau kebutuhanya dengan caranya sendiri. Misalnya, ketika orang tuanya memberikan makanan tertentu, ia menolak, tetapi ketika yang memberikan makanan tersebut adalah baby sister yang mengasuhnya, ia menerimanya dengan perasaan senang.
Perilaku sebagaimana tersebut di atas menunjukan  adanya dua tema utama dalam perkembangan psikososial selama masa bayi, yaitu kepercayaan dan otonomi. Bayi mempelajari apa yang diharapkan dari orang-orang yang penting dalam hidupnya. Dia mengembangkan suatu perasaan mengenai siapa yang mereka senangi atau yang tidak mereka senangi dan makanan apa yang disukai dan yang tidak disukai.
Berikut ini dikemukakan beberapa hal penting yang berkaitan dengan perkembangan psikososial pada masa bayi.

a.    Perkembangan Emosi
Emosi adalah sebuah istilah yang sudah cukup popular, namun maknanya yang tepat masih membingungkan, baik dikalangan ahli psikologi maupun  ahli filsafat. Emosi adalah sebuah kata atau istilah yang sangat identik dengan perasaan. Emosi dan perasaan merupakan suasana psikis atau suasana batin yang dihayati seseorang pada suatu saat. Emosi dan perasaan adalah dua hal yang berbeda, namun perbedaan di antara keduanya tidak dapat dinyatakan dengan jelas (Sunarto & Hartono, 2008: 149). Perasaan menunjukkan suasana batin yang lebih tenang dan tertutup, sedangkan emosi menggambarkan suasana batin yang lebih dinamis, bergejolak, dan terbuka (Sukmadinata, 2008: 77). Secara sederhana emosi dapat dikatakan sebagai perasaan atau afeksi yang melibatkan kombinasi antara gejolak fisiologis (seperti denyut jantung yang cepat) dan perilaku yang tampak (seperti senyuman, teriakan, tubuh gemetar, dansebaginya).
Memahami secara pasti kondisi emosi bayi merupakan hal yang sangat sulit karena sifat emosi yang sangat subyektif, sehingga informasi mengenai emosi tersebut hanya dapat diperoleh dari individu yang bersangkutan dengan cara introspeksi yang dilakukannya. Sementara itu, bayi sesuai dengan usianya yang masih sangat muda tidak dapat menggunakan cara tersebut dengan baik. Beberapa ahli mencoba memahami kondisi emosi bayi melalui ekspresi tubuh dan wajah, namun para ahli psikologi yang lain mempertanyakan seberapa penting kedua ekspresi tubuh dan wajah itu dapat memberikan informasi yang akurat dan menentukan apakah seorang bayi berada dalam suatu kondisi emosianal tertentu.
Sukmadinata (2009: 83) menyatakan bahwa pada mulanya seorang bayi hanya memiliki satu pola rangsangan emosi yang bersifat umum. Perangsang yang kuat, suara yang keras, diabaikan oleh orang tua, dan segala perangsang yang tidak diinginkan bayi akan ditolak dengan respos berupa tangisan. Sementara itu belaian, pujian, rawatan yang menyenangkan, dan segala perangsang yang bersesuaian dengan keinginan bayi akan diterima dengan respons yang menunjukkan kegembiraan. Pola rangsangan emosi ini akan berkembang dan berdeferensiasi sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan individu. Hasil dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa perasaan senang atau tidak senang pada bayi mulai berkembang ketika bayi telah berusia enam minggu, marah pada minggu ke delapan, dan takut pada minggu ke sebelas.
Para ahli telah lama meyakini bahwa kemampuan untuk berinteraksi secara emosional sudah ada pada bayi yang baru lahir seperti menangis, tersenyum, dan frustasi. Bahkan  beberapa para peneliti percaya bahwa beberapa minggu setelah lahir, bayi dapat memperlihatkan bermacam-macam ekspresi dari semua emosi dasar, termasuk kebahagiaan, perhatian, keheranan, ketakutan, kemarahan, kesedihan, dan kebosanan sesuai dengan situasinya.  Sejumlah emosi memang yang sudah berkembang sejak lahir, namun ada pula sejumlah emosi yang perkembangannya bergantung pada factor pematangan (naturation) dan pengalaman (belajar).
Eksperesi berbagai emosi pada bayi mempunyai peranan yang sangat penting bagi perkembangan anak. Tiga fungsi utama eksperesi emosi pada bayi tersebut adalah; fungsi adaptasi dan kelangsungan hidup, fungsi regulasi, dan fungsi komunikasi. Sehubungan dengan fungsi penyesuaian diri dan kelangsungan hidup, berbagai ketakutan adalah bersifat adaptif karena ada kaitan yang jelas antara gejolak  perasaan dengan kemungkinan bahaya. Berkaitan dengan fungsi pengaturan, emosi mempengaruhi informasi yang diseleksi anak-anak dari dunia persepsi dan perilaku yang mereka perhatikan. Anak-anak yang sedang bergembira misalnya, cenderung mengikuti apa yang sedang mereka pelajari di banding dengan anak-anak yang sedang sedih. Kemudian, berkaitan dengan fungsi komunikasi, anak-anak menggunakan emosi untuk menginformsikan pada orang lain tentang perasaan-perasaan dan kebutuhan-kebutuhannya (Desmita, 2010:117).

b.    Perkembangan Temperamen
Temperamen (tabiat, perangai) merupakan salah suatu dimensi psikologis yang berhubungan dengan aktivitas fisik dan emosional serta merespons. Menurut Purwanto (2007: 143) Temperamen adalah sifat-sifat jiwa yang sangat erat hubungannya dengan konstitusi tubuh. Santrock (2010: 160) menyatakan bahwa temperamen adalah gaya perilaku seseorang dan cara khasnya dalam memberi tanggapan.
Sejak lahir bayi memperlihatkan berbagai aktivitas individual yang berbeda-beda. Beberapa bayi yang sangat aktif menggerakan tangan, kaki, dan mulutnya tanpa henti-hentinya, tetapi bayi yang lain terlihat lebih tenang. Sebagian bayi merespon dengan hangat kepada orang lain, sementara yang lain cerewet, rewel, dan susuah diatur. Semua gaya perilaku ini merupakan temperamen seorang bayi.
Kebanyakan peniliti mengakui adanya perbedaan dalam kecenderungan reaksi utama, seperti kepekaan terhadap rangsangan visual atau verbal, respons emosional, dan keramahan dari bayi yang baru lahir. Peneliti Alexander Thomas dan Stella Chess (1977) misalnya, memperlihatkan adanya perbedaan dalam tingkatan aktivitas bayi, keteraturan dalam fungsi jasmani, pendekatan terhadap stimuli dan situasi baru, kemampuan beradaptasi denga situasi dan orang-orang baru, reaksi emosional, kepekaan terhadap rangsangan, kualitas suasana hati dan jangkuan perhatian.
Dari hasil penelitian ini, Alexander Thomas dan Stella Chess mengklasifikasikan temperamen atas tiga pola dasar. Pertama,  bayi yang bertemperamen sedang, menunjukan suasana hai yang lebih positif, keteraturan fungsi tubuh dan mudah beradaptasi dengan situasi baru. Kedua, bayi yang bertemperamen tinggi, memperlihatkan suasana hati yang negative, fungsi-fungsi tubuh tidak teratur, dan stress dalam menghadapi situasi baru. Ketiga, anak yang bertemperamen rendah, memiliki tingkat aktifitas yang rendah dan secara relative tidak dapat menyesuaikan diri dengan pengalaman baru, suka murung serta memperlihatkan intensitas suasana hatiyang rendah.
Pola-pola temperamen tersebut merupakan suatu karaktersitik tetap sepanjang masa bayi dan anak-anak yang akan dibentuk dan di perbaharui oleh pengalaman anak dikemudian hari, misalnya anak usia 2 tahun yang digolongkan secara ekstrim sebagai pemalu dan penakut, akan tetap  menjadi anak pemalu dan penakut pada usia 8 tahun. Hal ini menunjukan adanya konsistensi perkembangan temperamen sejak lahir. Konsistensi temperamen ini di tentukan oleh factor keturunan, kematangan, dan pengalaman, terutama pola pengasuhan orang tua (Desmita, 2010: 118).

c.    Perkembangan Attachement
Attachement adalah sebuah istilah yang pertama kali diperkenalkan oleh J. Bowly tahun 1958 untuk menggambarkan pertalian atau ikatan antara ibu dan anak (Jhonson dan Medinnus,1974). Menurut Martin Herbert dalam the social sciences encyclopedia, “attachemen mengacu pada ikatan anatara dua orang individu atau lebih, sifatnya adalah hubungan psikologis yang diskriminatif dan spesifik, serta mengikat seseorang dengan orang lain dalam rentang waktu dan ruang tertentu” (Kuper dan Kuper, 2000).
Bayi yang baru lahir telah memiliki perasaan sosial, yakni kecenderungan alami untuk berinteraksi dan melakukan penyesuaian social terhadap orang lain. Hal ini berkaitan dengan kondisi bayi yang sangat lemah pada saat lahir, sehingga ia sangat membutuhkan pengasuhan dari orang lain dalam mempertahankan hidupnya. Oleh sebab itu, tidak heran kalau bayi dalam semua kebudayaan mengembangkan kontak dan ikatan social yang sangat kuat dengan orang yang mengasuhnya, terutama ibunya.
Kontak sosial pertama bayi dengan pengasuhnya ini diperkirakan mulai terjadi  pada usia dua bulan, yaitu pada saat bayi mulai tersenyum ketika memandang wajah ibunya. Kemampuan bayi untuk tersenyum di usia dini tersebut berperan dalam memperkukuh hubungan ibu dan anak. Sebab dengan senyuman itu bayi ingin menyatakan pada ibunya bahwa ia mengenal atau mencintainya, dan karena itu akan mendorong ibu untuk membalas senyumanya, sehingga pada gilirannya masing-masing saling memperkuat respon social. Perkembangan awal kontak sosial pada bayi ini merupakan dasar bagi pembentukan hubungan social dikemudian hari (Einsenberg, 1994).
Kemudian saat bayi memasuki usia 3 atau 4 bulan mereka semakin memperlihatkan bahwa mereka mengenal dan menyenangi anggota keluarga yang dikenalnya dengan senyuman, serta dapat menerima kehadirian orang asing. Tetapi pada usia kira-kira 8 bulan muncul “objek permanen” bersamaan dengan kekawatiran terhadap  orang tidak dikenal, yang disebut dengan stranger anxety (perasaan malu terhadap orang yang tak dikenal). Pada masa ini bayi mulai memperlihatkan reaksi ketika didekati oleh orang yang tidak dikenalinya ( Mayers, 1996).
Setelah usia 8 bulan, seorang bayi dapat membentuk gambaran mental tentang orang-orang atau keadaan. Gambaran ini disebut skema, yang disimpan dalam memori dan kemudian diingatnya kembali untuk dibandingkan dengan situasi sekarang. Diantara skema yang  penting yang dimiliki bayi usia 8 bulan adalah skema tentang wajah orang yang dikenali, ketika mereka tidak dapat menerima wajah baru dalam skema ingatan ini, mereka akan menjadi sedih (Kagan,1984).
Pada usia 12 bulan umumnya bayi melekat erat pada orang tuanya ketika ketakutan atau mengira akan ditinggalkan. Ketika mereka bersama kembali, mereka akan mengumbar senyuman dan memeluk orang tuanya. Tidak ada tingkah laku social yang lebih mencolok dibanding dengan kekuatan ini, dan perasaan saling cinta antara bayi dan ibu ini disebut dengan attachement (keterkaitan) (Myers, 1996).
Para ahli riset dan klinis lebih menaruh perhatian pada dua jenis ikatan, yaitu keterkaitan dengan orang tua dan keterkaitan dengan anak-anak. Sudah diakui secara luas bahwa anak-anak secara psikologis terikat pada orang tua mereka.  Bayi-bayi manusia mula-mula mengalami keterkaitan denga ibunya dan tidak lama kemudian dengan orang dekat selain ibu dalam pertengahan kedua usia mereka yang pertama. Kebanyakan ahli psikologi perkembangan mempercayai bahwa attachemen pada bayi merupakan dasar utama bagi pembentukan kehidupan social anak dikemudian hari.
Keterkaitan tidak aman pada bayi berkaitan erat dengan pola pengasuhan dari ibunya yang kurang peka dan tidak responsive selama tahun pertama kehidupanya. Ibu pada bayi yang memperlihatkan keterkaitan tidak aman, cenderung lebih bereaksi berdasarkan keinginan atau perasaan mereka dari pada sinyal yang datang dari bayinya (Desmita, 2010: 119).

d.      Perkembangan rasa percaya (trust)
            Sesuai tahap perkembangan psikososial, tahun tahun pertama kehidupan ditandai oleh perkembangan rasa percaya dan rasa tidak percaya. Keadaan percaya pada umumnya mengandung tiga aspek yaitu :
1)        Bahwa bayi belajar percaya pada kesamaan dan kesinambungan dari pengasuh di luar dirinya
2)        Bahwa bayi belajar percaya diri dan dapat percaya pada kemampuan organg-orangnya sendiri untuk mengulangi dorongan-dorongan
3)        Bahwa bayi menganggap dirinya cukup dapat dipercaya sehingga pengasuh tak perlu waspada dirugikan
Dengan demikian, bayi yang memiliki rasa percaya dalam dirinya cenderung untuk memilih rasa aman dan percaya diri untuk mengeksplorasi lingkungan baru. Sebaliknya, bayi yang memiliki rasa tidak percaya cenderung tidak memiliki harapan-harapan positif.

e.    Perkembangan otonomi
Menurut Chaplin (2002) otonomi adalah kebebasan individu memilih untuk menjadi kesatuan yang bisa memerintah, menguasai dan menentukan dirinya sendiri. Otonomi atau kemandirian merupakan tahap kedua perkembangan psikososial yang berlangsung pada  masa bayi dan masa baru pandai berjalan. Otonomi dibangun diatas perkembangan kemampuan mental dan kemampuan motorik. Otonomi versus rasa malu dan ragu-ragu memiliki implikasi yang penting bagi perkembangan kemandiriran dan identitas selama masa remaja. Perkembangan otonomi selama tahun-tahun balita memberi remaja dorongan untuk menjadi individu yang mandiri, yang dapat memiliki dan menentukan masa depan mereka sendiri. Meskipun demikian, terlalu banyak otonomi sama bahayanya dennga terlalu sedikit otonomi (Desmita, 2010: 125).

C.  PERKEMBANGAN ANAK USIA 2-6 TAHUN
Periode kanak-kanak awal atau early childhood period (usia 2-6 tahun) merupakan usia prasekolah. Pada masa ini, pada umumnya anak-anak mulai menjalani masa pendidikan pada jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) baik pada jalur pendidikan formal maupun jalur pendidikan  non formal. Pada jenjang ini, anak-anak diberikan rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani maupun rohani dalam rangka mempersiapkan mereka agar memiliki kesiapan untuk memasuki pendidikan lebih lanjut, yaitu pada jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD).
Selama masa kanak-kanak awal, pertumbuhan fisik berlangsung lebih lambat dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan selama masa bayi (infacy period). Pertumbuhan fisik yang lambat ini berlangsung sampai mulai munculnya tanda-tanda pubertas, yakni kira-kira dua tahun menjelang anak matang secara seksual, di mana pertumbuhan fisik pada waktu itu kembali berkembang dengan pesat. Meskipun selama masa kanak-kanak secara umum pertumbuhan fisik mengalami perlambatan, namun ketrampilan-ketrampilan motorik kasar dan motorik halus justru berkembang pesat.

1.    Pertumbuhan dan Perkembangan Fisik
a.    Pertumbuhan dan perubahan bentuk tubuh
Prosentase kenaikan tinggi dan berat badan pada usia ini mulai menurun dibandingkan dengan masa sebelumnya (periode bayi). Perubahan atau prosentase tinggi dan berat badan badan tersebut terus berlangsung setiap tahun. Otot-otot perut menjadi lebih ramping karena mengalami pengetatan. Anak laki-laki cenderung memiliki kelebihan massa otot dibandingkan dengan anak perempuan. Seiring dengan bertambahnya tinggi badan, baik anak laki-laki maupun anak perempuan mengalami perampingan dan bentuk tubuh menjadi lebih atletis. (Danim, 2011: 46). Dalam kasus ini perlu untuk diketahui bahwa pertumbuhan fisik pada anak selalu bervariasi dan tidak sama. Hal ini disebabkan oleh dua faktor utama yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan fisik yaitu faktor hereditas (keturunan atau asal usul etnis)  dan asupan gizi.

b.    Perkembangan otak
Diantara perkembangan fisik yang sangat penting selama masa anak-anak awal ialah perkembangan otak dan sistem saraf yang berkelanjutan. Meskipun otak terus bertumbuh pada masa awal anak-anak, namun pertumbuhannya tidak sepesat pada masa bayi. Pada saat bayi mencapai usia 2 tahun, ukuran otaknya rata-rata 75% dari otak orang dewasa, dana pada usia 5 tahun, ukuran otaknya telah mencapai sekitar 90% otak orang dewasa. Pertumbuhan otak selama awal masa anak-anak disebabkan oleh pertambahan jumlah dan ukuran urat saraf yang berujung didalam dan diantara daerah-daerah otak. Ujung-ujung urat saraf itu terus bertumbuh setidak-tidaknya hingga masa remaja. Beberapa pertambahan ukuran otak juga disebabkan oleh pertambahan myelination, yaitu suatu proses dimana sel-sel urat saraf ditutup dan disekat dengan lapisan sel-sel lemak. Proses ini berdampak terhadap peningkatan kecepatan informasi yang berjalan melalui sistem urat saraf. Beberapa ahli psikologi perkembangan percaya bahwa myelination adalah penting pada perkembangan sejumlah kemampuan anak-anak (Desmita, 2010: 127-128).
Perkembangan otak dan sistem saraf pada anak usia dini juga terus berlangsung dramatis. Otak dan sistem syaraf anak-anak berkembang lebih baik, disertai dengan perkembangan perilaku dan kognitif yang lebih kompleks. Otak manusia terdiri dari dua bagian, yaitu belahan otak kanan dan otaak kiri yangbersifat literal. Literalisasi mengacu pada lokasi berbagai macam fungsi, kompetensi, dan keterampilan dalam salah satu bagian atau kedua belahan otak. Secara khusus bahasa, menulis, logika, dan matematika terletak di belahan otak kiri, sedangkan kreativitas, fantasi, artistik, dan musik terletak di belahan otak kanan (Danim, 2011: 46).  Secara lebih sederhana dapat dikatakan bahwa kelompok logika pada belahan otak kiri, sedangkan kelompok fantasi dan seni berada pada belahan otak kanan. Meskipun kedua belahan otak mungkin memiliki fungsi masing-masing, namun massa otak hampir selalu mengkoordinasikan fungsi dan bekerja sama. Kedua belahan otak juga berkembang dengan kecepatan yang tidak sama. Belahan otak kiri berkembang penuh pada masa kanak-kanak awal (2-6 tahun), adapun belahan otak kanan lebih lengkap pada masa kanak-kanak tengah (7-11 tahun).

c.    Perkembangan motorik
Perkembangan motorik (motor skills)  sangat berkaitan erat dengan perkembangan fisik anak. Motorik merupakan perkembangan pengendalian gerakan tubuh melalui kegiatan yang terkoordinir antara susunan saraf, otot, otak, dan spinal cord. Perkembangan keterampilan motorik meliputi keterampilan motorik kasar (gross motor skills) dan keterampilan motorik halus (fine motor skills). Motorik kasar adalah gerakan tubuh yang menggunakan otot-otot besar atau sebagian besar atau seluruh anggota tubuh yang dipengaruhi oleh kematangan anak itu sendiri. Contohnya kemampuan duduk, menendang, berlari, naik-turun tangga dan sebagainya. Sedangkan motorik halus adalah gerakan yang menggunakan menggunakan otot-otot halus atau sebagian anggota tubuh tertentu, yang dipengaruhi oleh kesempatan untuk belajar dan berlatih. Misalnya, kemampuan memindahkan benda dari tangan, mencoret-coret, menyusun balok, menggunting, menulis dan sebagainya. Kedua kemampuan tersebut sangat penting untuk dikembangkan agar anak-anak bisa berkembang dengan optimal.
Perkembangan fisik masa anak-anak ditandai dengan berkembangnya ketrampilan motorik tersebut, baik keterampilan motorik kasar maupun keterampilan motorik halus (Monks dkk, 1992: 100). Perkembangan motorik ini antara lain dapat dilihat dari perubahan kemampuan atau fungsi fisik untuk melakukan gerakan-gerakan tertentu. Misalnya saja, seorang anak yang berusia sekitar tiga tahun sudah dapat berjalan dengan baik, dan sekitar usia empat tahun anak hampir menguasai cara berjalan orang dewasa. Ketika kurang lebih telah berusia lima tahun anak sudah terampil menggunakan kakinya untuk berjalan dengan berbagai cara, seperti maju mundur, jalan cepat, dan pelan-pelan, melompat, berjingkrak, dan sebagainya yang semuanya dilakukan dengan lebih baik, halus, dan bervariasi. Pada usia sekitar lima tahun anak sudah dapat melakukan tindakan-tindakan tertentu secara akurat, seperti menangkap bola dengan baik, melukis, menulis, menggunting, melipat kertas, dan sebagainya.
Danim (2011: 47-48) menyatakan bahwa teori belajar observasional (Observational Learning Theory) yang dikembangkan oleh Albert Bandura dapat diterapkan pada pembelajaran motorik kasar dan halus bagi anak-anak prasekolah (masa kanak-kanak awal). Setelah anak-anak secara biologis mampu belajar perilaku tertentu, mereka harus melakiukan hal-hal berikut dalam rangka untuk mengembangkan keterampilan barunya:
1)      Mengamati perilaku orang lain
2)      Membentuk citra mental dari perilaku itu
3)      Meniru perilaku tersebut
4)      Praktik perilaku
5)      Termotivasi untuk mengulangi perilaku tersebut.
Dengan kata lain anak-anak harus siap, memiliki keterampilan yang memadai, dan tertarik untuk mengembangkan keterampilan motorik. Dengan cara ini anak akan menjadi kompeten pada keterampilan-keterampilan yang ingin atau akan dikuasai.

2.    Perkembangan Kognitif
Piaget dalam Desmita (2010: 101) membagi skema perkembangan kognitif yang digunakan anak untuk memahami dunianya melalui empat periode utama yang berkorelasi dengan dan semakin canggih seiring pertambahan usia:
a.    Periode sensorimotor (usia 0–2 tahun)
b.    Periode praoperasional (usia 2–7 tahun)
c.    Periode operasional konkrit (usia 7–11 tahun)
d.   Periode operasional formal (usia 11 tahun sampai dewasa)

Menurut Piaget, perkembangan kognitif pada periode  praoperasional (2-7 tahun) merupakan tahapan dimana anak belum mampu mengusai operasi mental secara logis. Yang dimaksud operasi mental adalah kegiatan-kegiatan yang diselesaikan secara mental bukan fisik. Periode ini ditandai dengan berkembangnya respresentasional atau ”symbolic function” yaitu kemampuan menggunakan sesuatu untuk mempresentasikan (mewakili) sesuatu yang lain dengan menggunakan simbol-simbol (kata-kata, gesture/bahasa gerak, dan benda). Dapat juga dikatakan sebagai ”simiotic function”, yaitu kemampuan menggunakan simbol-simbol (bahasa, gambar, tanda, syarat, benda, gesture atau peristiwa) untuk melambangkan sesuatu kegiatan, benda yang nyata atau peristiwa-peristiwa (Yusuf Ln., 2000: 169).
Meskipun anak-anak mengalami kemajuan tersendiri dalam berfikir secara simbolik sebagaimana tersebut di atas, namun perlu diketahui bahwa pemikiran mereka pada periode praoperasional ini masih mempunyai dua batasan penting yaitu egosentrime dan animisme. Egosentrime adalah ketidakmampuan untuk membedakan antara perspektif sendiri dan perspektif orang lain. Misalnya, seorang anak yang berusia empat tahun sedang berkomunikasi dengan ayahnya yang berada di tempat lain  melalui telepon. Ia (si anak) menunjukkan respons dengan mengangguk-anggukkan kepala untuk menyatakan setuju terhadap permintaan atau instruksi sang ayah, si anak tidak menyadari bahwa sang ayah tidak melihat anggukannya. Dalam hal ini si anak hanya menggunakan perspektif dirinya sendiri dan tidak mampu mempertimbangkan perspektif orang lain (sang ayah). Adapun yang dimaksud pemikiran animisme pada anak dalam periode praoperasional ini adalah keyakinan bahwa benda mati mempunyai sifat seperti makhluk hidup yang mampu bertindak atau melakukan sesuatu. Misalnya saja, seorang anak yang sedang berjalan tiba-tiba jatuh tersandung kursi, maka si anak bangkit dan memukuli kursi dengan mengatakan kursi jahat atau kursi nakal.
Anak-anak periode praoperasional merpakan anak-anak yang berpikir secara intuitif. Pemikiran intuitif pada periode praoperasional dimaksud adalah pemikiran primitiv, yakni anak-anak tampak mengerti atau mengetahui tentang sesuatu, namun mereka tidak sadar bagaimana mereka mengetahui apa yang mereka ketahui (mengetahui tanpa menggunakan pemikiran rasional). Dengan kata lain anak-anak periode praoperasional belum memiliki kemampuan untuk berpikir secara kritis tentang apa yang ada dibalik suatu kejadian.
Perkembangan kemampuan berbahasa pada anak-anak praoperasional juga terus mengalami perbaikan. Bahasa merupakan hasil dari kemampuan seorang anak untuk menggunakan dan memakai simbol-simbol sesuai dengan tingkat penalaran mereka. Sebagaimana otak manusia mengembangkan dan memperoleh kapasitas untuk berpikir representasional, anak-anak juga memperoleh dan memperbaiki kemampuan bahasanya. Beberapa peneliti telah mengukur kemampuan berbahasa dengan jumlah rata-rata kata dalam kalimat yang dikuasai oleh anak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin banyak anak menggunakan kata-kata dalam kalimat, maka akan semakin canggih perkembangan kemampuan bahasanya. Pada masa pra operasional ini anak-anak banyak belajar kata-keta baru. Orang tua, guru, saudara, temansebaya, dan media banyak memberikan kesempatan kepada mereka untuk meningkatkan penguasaan kosa kata. Dengan demikian dapat dipahami bahwa perolehan bahasa banyak terjadi dalam konteks sosial dan budaya. Orang tua, guru, dan orang dewasa lainnya mesti mengajari anak-anak bagaimana berpikir dan bagaimana bertindak yang dapat diterima secara sosial. Dengan demikian anak-anak belajar bahasa sekaligus belajar tentang masyarakat dan sebaliknya. Nilai-nilai, norma, adat istiadat yang disampaikan orang tua dan orang lain menunukkan bagaimana penggunaan bahasa (Danim, 2011: 52-53).
Pada semua usia, mengenal dapat dilakukan lebih baik dari mengingat, akan tetapi kedua kemampuan tersebut meningkat pada masa anak-anak awal. Pembentukan memori tentang pengalaman pada masa anak-anak awal jarang sekali yang terjadi secara disengaja. Anak kecil biasanya hanya mengingat suatu peristiwa yang memiliki kesan sangat kuat dan sebagian besar dari memori ini bersifat jangka pendek. Cara seorang anak membentuk memori permanen ada tiga tipe yaitu:
a.    Memori generik: memori yang menghasilkan script bagi rutinitas yang akrab untuk memandu perilaku. Script adalah catatan umum yang akrab dan berulang, dipergunakan untuk memandu perilaku. Misalnya: seorang anak bisa saja memiliki script untuk menaiki bus ke sekolah atau makan siang di rumah nenek.
b.    Memori episodis: memori jangka panjang tentang peristiwa yang kerap terjadi dan akrab, dihubungkan dengan tempat dan waktu.
c.    Memori autobiografis: memori tentang peristiwa tertentu dalam kehidupan seseorang. Misalnya: seorang anak mengingat saat dia pergi ke kebun binatang. Karena ke kebun binatang itu dia mengingat peristiwa baru dan unik, dia juga mengingat detail dari perjalanan tersebut hingga beberapa tahun.

3.    Perkembangan Psikososial
Perkembangan psikososial adalah perkembangan yang berkaitan dengan aspek-aspek psikologis seperti emosi, motivasi, dan perkembangan pribadi, serta perubahan dalam bagaimana individu berhubungan dengan orang lain. Terkait dengan perkembangan psikososial ini, anak-anak praoperasional akan mengalami situasi krisis dalam dirinya, yakni krisis antara timbulnya inisiatif berhadapan dengan rasa bersalah. Pada tahap ini, anak mulai belajar bertanggungjawab dan mengendalikan perasaan, sementara itu anak juga masih perlu menikmati kebebasannya. Apabila perkembangan rasa bersalah melebihi perkembangan inisiatif, maka anak akan menjadi anak yang diliputi rasa ragu-ragu (peragu). Pada situasi seperti ini, iklim sosio psikologis yang kondusif sangat dibutuhkan guna mendukung individu untuk mencapai perkembangan yang positif dan optimal.
Pada masa kanak-kanak awal, terutama masa prasekolah (mulai usia 4 tahun) perkembangan sosial anak sudah mulai tampak jelas, karena mereka sudah mulai aktif berhubngan dengan teman sebayanya.
Ciri-ciri perkembangan pada tahap ini adalah :
a.    Anak sudah mulai tahu aturan-aturan, baik dilingkungan keluarganya maupun dalam lingkungan bermain
b.    Sedikit demi sedikit anak sudah mulai tunduk pada peraturan
c.    Anak sudah mengetahui hak atau kepentingan orang lain
d.   Anak sudah mulai dapat bermain bersama anak-anak lain atau teman sebaya (peer group)
Pada masa ini kualitas hubungan sosial lebih penting daripada kuantitasnya. Kalau anak menyenangi hubungan dengan orang lain meskipun kadang-kadang saja, maka transformasi sikap yang diperoleh dari kontak sosial akan lebih baik daripada hubungan sosial yang sering tetapi sifat hubungannya kurang baik. Anak yang lebih menyukai interaksi dengan manusia daripada benda akan lebih mengembangkan kecakapan sosial sehingga mereka akan lebih populer dari pada anak yang interaksinya dengan manusia terbatas.
Aspek-aspek penting yang berkembang pada masa ini diantaranya adalah hubungan keluarga, hubungan dengan teman sebaya, permainan, perkembangan gender, dan perkembangan moral (Jahja, 2011: 191). Berikut ini akan dikemukakan pembahasan beberapa aspek tersebut yang berkaitan erat dan dapat mempengaruhi perkembangan psikososial individu pada masa kanak-kanak awal.

a.    Hubungan keluarga
 Hubungan keluarga sangat penting untuk perkembangan kesehatan fisik, mental, dan sosial terhadap anak-anak periode praoperasional yang sekaligus sebagai anak-anak prasekolah. Banyak aspek dan dimensi teknis yang memberi kontribusi bagi perkembangan psikososial anak-anak (Danim, 2011: 55). Perkembangan sosial anak sangat dipengaruhi oleh iklim sosio psikilogis keluarganya. Anak yang tumbuh di lingkungan keluarga yang saling memperhatikan dan saling membantu dalam menyelesaikan tugas-tugas keluarga, terjalin komunikasi yang harmonis di antara anggota keluarga serta konsisten dalam melaksanakan aturan, maka anak akan memiliki kemampuan atau penyesuaian sosial yang baik dalam menjalin hubungan dengan orang lain (Yusuf Ln., 2000: 170-171).
Fungsi keluarga terutama kedua orang tua antara lain adalah memberikan pengasuhan dengan baik kepada anak-anak. Tiap-tiap keluarga memiliki tipe dan gaya pengasuhan masing-masing terhadap anak-anak, di mana keluarga yang satu tentu berbeda dengan keluarga yang lain. Tipe pengasuhan keluarga (orang tua) sangat tergantung kepada standar budaya dan masyarakat, situasi, serta perilaku anak-anak pada waktu itu. Tipe pengasuhan ini merupakan aspek penting dalam hubungan keluarga dan memiliki dampak yang sangat luas terhadap perkembangan psikososial anak-anak terutama anak-anak periode praoperasional.
Hubungan keluarga (orang tua) dengan anak-anak dicirikan oleh derajat kontrol dan kehangatan. Berdasarkan derajat kontrol dan kehangatan tersebut, secara garis besar hubungan keluarga dapat dibedakan menjadi tiga tipe, yaitu:
1)      Tipe pengasuhan otoriter, yaitu tipe pengasuhan yang menunjukkan derajat kontrol yang tinggi dengan kehangatan yang rendah
2)      Tipe pengasuhan permisif, yaitu tipe pengasuhan yang cenderung menunjukkan derajat kontrol yang rendah dengan kehangatan yang tinggi
3)      Tipe pengasuhan demokratis, yaitu tipe pengasuhan yang menggunakan derajat kontrol yang relatif dengan kehangatan yang tinggi.
Masing-masing tipe pengasuhan tersebut di atas tentu saja memiliki kelebihan dan kekurangan. Misalnya saja, tipe pengasuhan otoriter akan cenderung menjadikan anak kurang percaya diri tetapi taat terhadap aturan dan tipe permisif dapat mendorong anak untuk tampil percaya diri tetapi cenderung tidak taat aturan serta suka berbuat seenaknya (semau gue). Adapun tipe pengasuhan demokratis, sampai saat ini masih dianggap sebagai tipe pengasuhan terbaik yang dapat meminimalisir kekurangan dan mengakomodir kelebihan dari dua tipe pengasuhan yang lain (otoriter dan permisif). Hal lain yang tidak kalah pentingnya, yang perlu disadari oleh para pendidik terutama orang tua adalah, bahwa pada fase Inisiatif vs merasa bersalah ini anak-anak membutuhkan tipe pengasuhan yang dapat membantunya tampil percaya diri, memiliki prestasi belajar yang baik, memiliki pengendalian dan pengawan diri sendiri, dapat bergaul dengan baik, serta mampu membedakan yang benar dan yang salah.

b.    Hubungan teman sebaya
Istilah teman sebaya lebih ditekankan pada kesamaan tingkah laku atau psikologis. Kontak awal yang baik dalam keluarga dapat menentukan anak-anak untuk membangun persahabatan dan hubungan dengan anak-anak yang lain. Anak-anak yang menerima pengasuhan yang baik dan penuh kasih sayang penya kecenderungan untuk dapat membangun hubungan yang baik dengan teman-teman sebayanya. Persahabatan memberikan kesempatan kepada anak-anak untuk belajar menangani situasi, belajar nilai-nilai, berbagi, dan mempraktikkan perilaku yang lebih matang. Anak-anak yang unggul dalam hal sebagaimana tersebut akan lebih populer di lingkungan teman-temannya. Mereka tidak hanya tahu memiliki teman tetapi juga tahu bagaimana menjadi seorang teman. Sementara itu anak-anak yang kurang bersahabat atau suka menciptakan permusuhan cenderung kurang populer di kalangan teman-temannya. Anak-anak yang egois disertai ketidakunggulan pada hampir semua kegiatan akan terasing dari teman-temannya atau mungkin saja bukan diasingkan, melainkan mengasingkan diri (Danim, 2011: 58).
Sejumlah penelitian telah merekomendasikan betapa hubungan sosial dengan teman sebaya memiliki arti yang sangat penting bagi perkembangan pribadi anak. Salah satu fungsi kelompok teman sebaya yang paling penting adalah menyediakan suatu sumber informasi  dan perbandingan tentang dunia luar diluar keluarga. Anak menerima umpan balik tentang kemampuan-kemampuan mereka dari kelompok teman sebaya. Anak-anak mengevaluasi apakah yang mereka lakukan lebih baik, sama, atau lebih jelek dari yang dilakukan oleh anak-anak lain. Mereka menggunakan orang lain sebagai tolok ukur untuk membandingkan dirinya. Proses pembandingan sosial ini merupakan dasar bagi pembentukan rasa harga diri dan gambaran diri anak (Desmita, 2010: 145). Relasi yang buruk diantara teman-teman sebaya pada masa anak-anak ini sering diasosiasikan dengan suatu kecenderungan perilaku nakal pada masa remaja. Isolasi sosial atau ketidakmampuan untuk melebur ke dalam suatu jaringan sosial pada usia tengah baya, diasosiasikan dengan kenakalan atau kelainan pada masa remaja, sebaliknya relasi yang harmonis diantara teman sebaya pada masa remaja diasosiasikan dengan kesehatan mental yang positif pada usia tengah baya.

c.    Permainan
Permainan adalah salah satu bentuk aktifitas sosial yang dominan pada masa anak-anak awal, sebab anak-anak menghabiskan waktu lebih banyak untuk bermain dibanding dengan terlibat aktifitas lain.  Kebanyakan hubungan sosial dengan teman sebaya yang terjadi pada masa ini juga terjalin dalam bentuk permainan. Desmita (200:141-142) mengemukakan tiga fungsi utama permainan sebagai berikut:
1)      Fungsi kognitif; melalui permainan anak-anak dapat menjelajahi lingkungannya, mempelajari objek-objek disekitarnya, dan belajar memacahkan masalah yang dihadapinya
2)      Fungsi sosial; permainan dapat meningkatkan perkembangan sosial anak
3)      Fungsi emosi; permainan memungkinkan anak untuk memecahkan sebagian dari masalah emosialnya, belajar mengatasi konflik batin dan kegelisahan
Berdasarkan observarsi terhadap anak-anak usia 2 hingga 5 tahun Patern menemukan 3 kategori permainan anak-anak sebagai berikut:
1)      Permainan unoccopied, anak memperhatikan dan melihat segala sesuatu yang menarik perhatiannya dan melakukan gerakan-gerakan bebas dalam bentuk tingkah laku yang tidak terkontrol
2)      Permainan onlooker, anak melihat dan memperhatikan anak-anak lain bermain
3)      Permainan pararel , anak bermain dengan alat-alat permainan yang sama, tetapi tidak terjadi kontak antara satu dengan yang lain atau tukar menukat alat permainan.
Anak-anak yang sedang bermain barada dalam suasana yang bebas. Suasana demikian memberikan kesempatan kepada mereka untuk menunjukkan kepribadian yang sesungguhnya, baik kepribadian sebagai individu maupun kepribadiannya sebagai anggota masyarakat. Permainan juga dapat menjadi sarana bersosialisasi bagi anak, yaitu sarana untuk mengintrodusir anak menjadi anggota masyarakat, agar anak bisa mengenal dan menghargai masyarakat. Dalam suasana permainan itu akan timbul  rasa kerukunan yang sangat besar manfaatnya bagi pembentukan sikap sosial sebagai manusia budaya.
Permainan dan situasi bermain memberi kesempatan kepada anak untuk mengukur kemampuan serta potensi sendiri. Ia belajar menguasai macam-macam benda, juga belajar memahami sifat-sifat benda dan peristiwa yang berlangsung dalam lingkungannya.  Mereka dapat menampilkan fantasi, bakat-bakat, dan kecenderungannya. Anak laki-laki bermain dengan mobil-mobilan, anak perempuan dengan  boneka-bonekanya. Jika diberikan kertas dan gunting kepada sekelomok anak-anak kecil, maka masing-masing anak akan menghasilkan “karya” yang berbeda, sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Di tengah permainan itu setiap anak menghayati macam-macam emosi. Mereka merasakan kegairahan dan kegembiraan dan tidak secara khusus mengharapkan prestasi-prestasi. Permainan mempunyai nilai yang sama besarnya dengan nilai seni bagi orang dewasa.
Permainan juga dapat menjadi alat pendidikan, karena selain d apat memberikan rasa kepuasaan, kegembiraan, dan kebahagian kepada anak, permainan juga memberikan kesempatan pralatihan untuk mengenal aturan-aturan permainan, mematuhi norma-norma dan larangan, dan bertindak secara jujur serta loyal. Semua ini diperlukan oleh anak sebagai persiapan bagi penghayatan “fair play” dalam pertarungan hidup di kemudian harinya.Dalam bermain anak belajar menggunakan semua fungsi kejiwaan dan fungsi jasmaniah dengan sepenuh hati. Hal ini sangat berguna untuk memupuk sikap serius dan bersunguh-sungguh pada usia dewasa dalam mengatasi setiap kesulitan hidup yang dihadapi sehari-harinya (Kartono, 1999: 122). Jelaslah bahwa permainan memiliki arti  penting dalam  membetuk karakteristik dan sebagai alat untuk  menuangkan  kreatifitas anak.

d.   Perkembangan gender
Kebanyakan anak mengalami sekurang-kurangnya tiga tahap dalam perkembangan gender. Pertama, anak mengembangkan kepercayaan tentang identitas gender, yaitu rasa laki-laki atau perempuan. Kedua, anak mengembangkan keistimewaan gender, sikap tentang jenis kelamin mana yang mereka kehendaki. Ketiga, mereka memperoleh ketetapan gender, suatu kepercayaan bahwa jenis kelamin seseorang ditentukan secara biologis, permanen, dan tak berubah-ubah. Pengetahuan tentang ketiga aspek gender tersebut dinamakan sebagai peran jenis kelamin, atau stereotip gender. Pada umumnya, secara psikologis anak mencapai ketetapan gender pada usia tujuh sampai dengan sembilan tahun (Desmita, 2010: 146-147). Jadi, dalam perkembangan psikososial ini anak akan belajar untuk mengembangkan kepercayaan identitas gender  sesuai dengan tugas dari perkembangan itu sendiri, yakni menbedakan jenis kelamin. Pada tahap ini anak akan bisa mengarahkan dirinya pada sikap jenis kelamin mana yang mereka kehendaki, yang pada akhirnya mereka akan memperoleh ketetapan gender.

e.    Perkembungan kepribadian dan moral
Masa ini disebut masa perlawanan atau masa krisis pertama. Krisis ini terjadi karena ada perubahan yang hebat dalam diri anak-anak, yaitu dia mulai sadar akan akunya, dia menyadari bahwa dirinya terpisah dari lingkungan atau orang lain, dia suka menyebut nama dirinya apabila berbicara dengan orang lain. Pada masa ini, berkembang kesadaran dan kemampuan untuk memenuhi tuntunan dan tanggung jawab. Oleh karena itu agar tidak berkembang sikap membandel anak yang kurang terkontrol, pihak orang tua perlu menghadapinya secara bijaksana, penuh kasih sayang, dan tidak bersikap keras.
Pada masa ini, anak sudah memiliki dasar tentang sikap moralitas terhadap kelompok sosial (orang tua, saudara, dan teman sebaya). Melalui pengalaman berinteraksi dengan orang lain, anak akan belajar memahami tentang kegiatan atau perilaku mana yang baik, diterima, dan disetujui atau perilaku mana yang buruk, yang tidak boleh, yang ditolak, dan tidak disetujui. Berdasarkan pemahaman itu, maka pada masa itu anak harus dilatih atau dibiasakan mengenal bagaimana dia harus bertingkah laku yang baik, seperti mencuci tangan sebelum makan, menggosok gigi sebelum tidur, berdoa sebelum makan, dan sebagainya (Yusuf Ln, 2000: 175).

D.  KESIMPULAN
Periode perkembangan yang merentang  pada usia 0-6 tahun dapat dikatakan sebagai periode perkembangan anak usia dini. Periode ini dimulai setelah melewati periode prenatal, yaitu  periode prakelahiran (prenatal period) yakni sejak dari pembuahan hingga kelahiran. Sesuai dengan klasifikasi periode perkembangan yang paling luas digunakan sebagaimana dikemukakan oleh Santrock (1993), periode ini (0-6 tahun) termasuk dalam klasifikasi periode bayi (infacy period) yaitu periode yang merentang antara usia 0-2 tahun dan  periode kanak-kanak awal (early childhood period) yang merentang antara usia 2-7 tahun.
Setidaknya ada tiga aspek penting yang dapat dilihat pada pertumbuhan dan perkembangan pada periode bayi, yaitu aspek fisik-motorik, aspek kognitif, dan aspek psikososial. Pada aspek fisik motorik, pertumbuhan dan perkembangan masa bayi tandai dengan pertumbuhan fisik yang sangat cepat, bahkan perubahan fisik yang paling cepat dibandingkan dengan periode-periode sesudahnya. Perkembangan bayi pada aspek ini juga ditandai dengan mulai berkembangnya beberapa refleks. Refleks-refleks tersebut merupakan modal dasar bagi bayi untuk mengadakan reaksi dan tindakan yang bersifat aktif. Beberapa dari refleks ini akan menghilang dalam waktu tertentu dan disebut refleks anak menusu atau refleks bayi. Sedangkan sebagian refleks yang tidak hilang disebut refleks permanen. Beberapa pola dan tingkah laku motorik pada bayi makin lama makin bertambah baik serta terkoordinasi, makin cermat, dan makin tepat. Kemampuan anak untuk dapat duduk, berdiri, berjalan, dan sebagainya tergantung pada kematangan system saraf dan otot, dan kesempatan untuk mempraktekkan kemampuan motorik. Walaupun kemampuan kematangan dapat berkembang tanpa pelajaran khusus, namun pembatasan kesemptan untuk mempraktekkan dapat menghalangi perkembangannya. Selain itu latihan khusus dapat memfasilitasi perkembangan motorik.
Hasil riset para ahli psikologi kognitif menyimpulkan bahwa aktivitas ranah kognitif manusia pada prinsipnya sudah berlangsung sejak masa bayi, yaitu pada rentang usia 0-2 tahun. Intelegensi sensori-motor dipandang sebagai intelegensi praktis (practical intelligence) yang bermanfaat bagi individu usia 0-2 tahun untuk belajar berbuat terhadap lingkungannya sebelum ia mampu berpikir mengenai apa yang sedang ia perbuat. Individu pada periode ini belajar bagaimana mengikuti dunia kebendaan secara praktis dan belajar menimbulkan efek tertentu tanpa memahami apa yang sedang ia perbuat kecuali hanya mencari cara melakukan perbuatan. Aspek psikososial juga mulai berkembang sejak masa bayi. Bayi mempelajari apa yang diharapkan dari orang-orang yang penting dalam hidupnya. Dia mengembangkan suatu perasaan mengenai siapa yang mereka senangi atau yang tidak mereka senangi dan makanan apa yang disukai dan yang tidak disukai. Beberapa sub aspek psikososial yang tampak mulai berkembang pada periode ini antara lain emosi, temperamen, attachement, rasa percaya (trust), dan perkembangan otonomi.
Periode atau masa kanak-kanak awal (2-6 tahun) termasuk dalam kategori praoperasional yang sekaligus merupakan periode prasekolah. Selama masa anak-anak awal, pertumbuhan fisik berlangsung lebih lambat dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan selama masa bayi (infacy period). Meskipun selama masa kanak-kanak secara umum pertumbuhan fisik mengalami perlambatan, namun ketrampilan-ketrampilan motorik kasar dan motorik halus justru berkembang dengan pesat.
Perkembangan kognitif pada periode kanak-kanak awal  (praoperasional) merupakan tahapan dimana anak belum mampu mengusai operasi mental secara logis. Yang dimaksud operasi mental adalah kegiatan-kegiatan yang diselesaikan secara mental bukan fisik. Periode ini ditandai dengan berkembangnya respresentasional atau ”symbolic function” yaitu kemampuan menggunakan sesuatu untuk mempresentasikan (mewakili) sesuatu yang lain dengan menggunakan simbol-simbol (kata-kata, gesture/bahasa gerak, dan benda). Dapat juga dikatakan sebagai ”simiotic function”, yaitu kemampuan menggunakan simbol-simbol (bahasa, gambar, tanda, syarat, benda, gesture atau peristiwa) untuk melambangkan sesuatu kegiatan, benda yang nyata atau peristiwa-peristiwa Meskipun anak-anak mengalami kemajuan tersendiri dalam berfikir secara simbolik sebagaimana tersebut di atas, namun perlu diketahui bahwa pemikiran mereka pada periode praoperasional ini masih mempunyai dua batasan penting yaitu egosentrime dan animisme. Egosentrime adalah ketidakmampuan untuk membedakan antara perspektif sendiri dan perspektif orang lain. Adapun yang dimaksud pemikiran animisme pada anak dalam periode praoperasional ini adalah keyakinan bahwa benda mati mempunyai sifat seperti makhluk hidup yang mampu bertindak atau melakukan sesuatu.
Terkait dengan perkembangan psikososial ini, anak-anak praoperasional akan mengalami situasi krisis dalam dirinya, yakni krisis antara timbulnya inisiatif berhadapan dengan rasa bersalah. Pada tahap ini, anak mulai belajar bertanggungjawab dan mengendalikan perasaan, sementara itu anak juga masih perlu menikmati kebebasannya. Apabila perkembangan rasa bersalah melebihi perkembangan inisiatif, maka anak akan menjadi anak yang diliputi rasa ragu-ragu (peragu). Pada situasi seperti ini, iklim sosio psikologis yang kondusif sangat dibutuhkan guna mendukung individu untuk mencapai perkembangan yang positif dan optimal. Pada masa ini, terutama masa prasekolah (mulai usia 4 tahun) perkembangan sosial anak sudah mulai tampak jelas, karena mereka sudah mulai aktif berhubngan dengan teman sebayanya. Aspek-aspek penting yang berkembang pada masa ini diantaranya adalah hubungan keluarga, hubungan dengan teman sebaya, permainan, perkembangan gender, dan perkembangan moral.



DAFTAR PUSTAKA
Danim, Sudarwan, 2011, Perkembangan Peserta Didik, Bandung: Alfabeta.
Desmita., 2010, Psikilogi Perkembangan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Jahja, Yudrik., 2011, Psikologi Perkembanga, Jakarta: Kencana.
Kartono,Kartini., 1999, Psikologi Anak, Bandung: Bandar Maju.
Mussen, Paul Henry., 1988, John Janeway Conger, Jerome Kagan, Aletha Carol Huston, Perkembangan dan Kebribadian Anak, Jakarta: Erlangga.
Monks, F.J. dkk, 1992, Psikologi Perkembangan: Pengantar dengan Berbagai Bagiannya, Yogyakarta: Gajah Mada Unisersity Press.
Purwanto, Ngalim., 2007, Psikologi Pendidikan, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Santrock, J.W., 2010, Psikologi Pendidikan , Jakarta: Kencana.
Soemanto, Wasty., 2006, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta.
Sukmadinata, Nana Syaodah, 2009, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sunarto & B. Agung Hartono., 2008, Perkembangan Peserta Didik, Jakarta: Rineka Cipta.
Syah, Muhibbin., 2008, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Yusuf Ln,  Syamsul., 2000, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung : Remaja Rosdakarya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar