Juz 1 Ustad Abu Usaamah, Lc

Kamis, 10 Maret 2016

CARA MEMBUAT TULISAN PUTUS - PUTUS


TIPS BERHITUNG PADA ANAK USIA DINI

Tips Berhitung dan Bermain Bersama Anak Usia Dini Melalui iPad


Hari ini, saya membagikan tentang kemampuan dasar berhitung yang dapat mulai dipelajari oleh anak berusia 1-2 tahun. Selain itu, saya juga akan coba menuliskan beberapa aplikasi pilihan yang dapat membantu usaha Anda ini.

Salah satu pelajaran dasar dalam berhitung adalah proses mengenali angka dari 1 sampai dengan 10. Meskipun belum bisa bicara dengan lancar, anak berusia satu tahun sudah mampu untuk mengenali angka 1-10. Dengan menunjuk maupun menggunakan bahasa isyarat yang lain, Anda dapat sedikit banyak mengetahui apakah anak Anda telah mengenal angka-angka tersebut.

Jika anak Anda sudah berusia 2 tahun, maka Anda sudah dapat mengajak anak Anda mengenal angka lebih dari 10, misalnya: 11-20. Selain itu, ini adalah saat yang tepat untuk melatih otot motorik halus dari anak Anda, terutama dengan belajar bagaimana melambangkan angka 1-10 dengan jari kedua tangan mereka.

Seperti layaknya lagu ABC yang biasa dinyanyikan oleh orang tua dan guru untuk membantu anak-anak menghapal huruf A-Z, begitu pula adanya sebuah lagu yang terkait dengan angka dan proses berhitung akan banyak membantu anak Anda dalam mengenali angka 1-10. Jika Anda punya akses ke YouTube, dengan sedikit pencarian, Anda dapat dengan mudah mendapatkan beberapa video pengenalan angka yang mungkin menarik buat anak Anda.

Saat anak Anda sudah mengenal semua angka dari 1 sampai dengan 20, atau mungkin sampai 100, maka dia sudah siap untuk belajar dasar-dasar berhitung. Ini bisa dimulai dengan aktivitas sederhana, seperti berhitung jumlah obyek yang sama dalam satu tampilan.

3 Aplikasi Matematika Terbaik Untuk Anak Usia 1-2 Tahun
Berikut adalah beberapa aplikasi yang saya rekomendasikan buat pembelajaran dasar-dasar berhitung buat anak Anda:

Little Digits






Little Digits
Aplikasi ini merupakan aplikasi yang cukup unik. Dengan memanfaatkan kemampuan iPad mengenali sampai dengan 10 jari, aplikasi ini mencoba mengajarkan kemampuan berhitung menggunakan jari kepada anak Anda.


TallyTots





TallyTots
Aplikasi ini mengajarkan anak-anak untuk mengenali angka dan berhitung dari 1 sampai dengan 20. Di dalamnya juga terdapat sebuah lagu berhitung yang dapat membantu anak Anda dalam menghapal urutan angka 1-20. Selain itu, aplikasi ini juga mempunyai halaman khusus di mana anak Anda dapat belajar untuk mengenali angka 1-100.


Farm 123



Farm 123

Aplikasi ini mengambil bentuk seperti sebuah buku 3D pop-up yang sangat menarik buat anak-anak. Di dalam 17 halaman yang ada, anak-anak diajak untuk bermain dengan berbagai hewan ternak sambil belajar berhitung.
Akhir Kata
Cara pembelajaran anak-anak generasi ini sudah banyak berubah. Teknologi seperti iPad dan berbagai aplikasi pendidikan telah terbukti banyak membantu peran orang tua maupun guru untuk memberikan tempat berlatih tambahan buat anak-anak. Saya berharap artikel ini dapat membantu Anda sebagai orang tua untuk memahami tahapan pembelajaran yang dapat Anda mulai perkenalkan ke anak Anda, serta dapat membantu Anda dalam mencari aplikasi pendidikan yang sesuai dengan proses pembelajaran anak Anda.

METODE BELAJAR MEMBACA ANAK USIA DINI

Belajar Membaca Untuk Anak Usia Dini

Bisa membaca di usia dini mungkin bukanlah segalanya. Ada hal yang lebih penting dari kemampuan membaca, yang justru agak sering terlewatkan, yaitu bagaimana membuat anak-anak senang dengan buku dan kegiatan membaca.
Jika pembentukan kebiasaan membaca kurang dibangun, tak jarang, ada anak yang sudah bisa membaca tetapi tidak tertarik dengan buku.
Akan tetapi, tidaklah pula berlebihan jika orang tua mulai menyediakan media Belajar membaca (apapun itu) pada saat anak-anak terlihat begitu antusias dengan buku dan kegiatan membaca, meskipun mereka masih berusia balita atau bahkan batita. Kontroversi tentang hal tersebut memang masih selalu hangat dibicarakan dan tak pernah ada habisnya dari waktu ke waktu. Beberapa pihak bahkan melarang orang tua atau guru untuk mengajarkan keterampilan membaca pada usia dini, dengan alasan takut anak-anak jadi terbebani, sehingga mereka menjadi benci dengan kata “Belajar”.
Namun sejauh pengalaman saya, selama prinsip belajar ‘fun’ yang dikembangkan, materi apapun yang diajarkan kepada anak usia dini selalu direspon dengan baik dan anak-anak suka untuk belajar. Mengajak anak-anak untuk belajar membaca menurut saya jauh lebih baik daripada membiarkan mereka menonton TV seharian. Tanpa kita sadari sesungguhnya anak-anak juga belajar sesuatu lewat TV, yang sayangnya lebih banyak berupa hal-hal negatif daripada hal-hal yang positif.

Seputar metode belajar

Metode mengajar balita membaca sangatlah beragam. Karena begitu beragamnya, lagi-lagi kita akan menemukan perbedaan dasar pemikiran dari metode-metode tersebut. Meskipun kadang-kadang sering mencuat pertentangan yang tajam antar berbagai metode, kita tak perlu bingung. Kenali saja semua konsep yang ditawarkan, dan kenali pula gaya belajar anak-anak kita. Jika metode dan gaya belajar cocok, kita bisa lebih mudah memotivasi anak untuk belajar.
Berdasarkan telaah saya, sejauh ini di dunia belajar ini dikenal 2 metode besar, yaitu metode terstruktur dan metode tidak terstruktur (acak). Keduanya tidak lebih baik atau lebih jelek dari yang lainnya. Metode terstruktur dan tidak terstruktur (acak) bisa saling melengkapi sesuai karakter dua belahan sisi otak kita yang kini populer dengan istilah otak kiri dan otak kanan.
Otak kiri memiliki karakteristik yang teratur, runut (sistematis), analitis, logis, dan karakter-karakter terstruktur lainnya. Kita membutuhkan kerja otak kiri ini untuk menyelesaikan masalah-masalah yang berhubungan dengan data, angka, urutan, dan logika.

Adapun karakteristik otak kanan berhubungan dengan rima, irama, musik, gambar, dan imajinasi. Aktivitas kreatif muncul atas hasil kerja otak kanan.
Melalui deskripsi tentang karakteristik dua belahan otak tersebut, kita tentu bisa melihat bahwa keduanya tidak bisa dipisahkan dari kehidupan kita. Apa jadinya para kreator-kreator seni jika tak punya tim manajemen yang handal. Bisa kita bayangkan pula sepi dan monotonnya dunia ini jika penghuninya hanyalah para ahli matematika atau akuntansi yang selalu sibuk dengan angka. Secara personal, kita pun akan menjelma menjadi orang yang “timpang” jika tidak mampu menyeimbangkan kinerja dua sisi otak kita. Kita pun bisa tumbuh menjadi orang yang “ekstrem” dalam memandang belajar dan cara belajar.
Selain metode belajar, karakteristik anak-anak juga perlu kita ketahui dan pahami agar kita bisa merancang model-model belajar yang menarik minat anak. Beberapa karakteristik anak secara umum adalah sebagai berikut:
1. Konsentrasi lebih pendek (relatif)
2. Tidak suka diatur/dipaksa
3. Tidak suka dites

Ketiga ciri tersebut jelas menunjukkan kepada kita bahwa mengajar balita membaca tak bisa dilakukan dengan cara-cara orang dewasa. Kita membutuhkan teknik-teknik yang lebih bervariasi dan adaptif terhadap kecenderungan anak-anak. Dan hanya satu kegiatan yang bisa melumerkan 3 karakteristik di atas yaitu BERMAIN. Mengapa? Karena dalam bermain anak-anak tidak menemukan tes, paksaan, dan batas waktu. Ketika bermainlah anak-anak menemukan kebebasan dirinya untuk berekspresi. Ketika bermain pula mereka menemukan kesenangan mereka.


Model-model belajar membaca untuk inspirasi

1.  Belajar membaca lewat kosa kata

Kosa kata adalah pembentuk kalimat. Lewat kosa kata yang makin beragam, kalimat yang kita keluarkan pun akan semakin kaya. Lewat kosa kata, anak-anak akan belajar tak hanya kemampuan membaca tetapi juga perbendaharaan dan pemahaman akan kata-kata yang akan mereka gunakan dalam berbicara.
Variasi yang bisa digunakan diantaranya, kartu kata yang disajikan dengan model Glen Doman, poster kata yang ditempel di dinding, buku-buku bergambar yang kalimatnya pendek dan ukuran hurufnya cukup besar. Prinsip yang dipakai dari metode tersebut adalah belajar dengan melakukannya. BELAJAR MEMBACA dengan MEMBACA.
Hal-hal khusus yang menyertai model ini adalah kemungkinan anak-anak untuk mengenal pola lebih lama. Artinya, bisa jadi untuk bisa benar-benar membaca semua kata yang diperlihatkan kepada mereka (meski belum diajarkan) membutuhkan waktu yang cukup lama, tergantung kecepatan anak.

2. Belajar Membaca lewat Suku Kata

Model ini paling banyak digunakan, terutama di sekolah-sekolah. Prinsip dasarnya adalah terlebih dulu mengenali pola sebelum masuk pada fase membaca.
Belajar lewat suku kata misalnya ba bi bu be bo dan seterusnya juga memiliki efek tersendiri, diantaranya kecepatan membaca yang sedikit lambat jika tidak diiringi latihan langsung lewat buku atau bacaan-bacaan. Mengapa demikian? Karena anak-anak akan terbiasa dengan membaca pola lebih dulu baru membaca. Kerja otak kiri lebih dominan dalam hal tersebut.
Untuk mengimbanginya, kita harus lebih sering memotivasi anak untuk membaca kata-kata secara langsung lewat buku tanpa harus memilah suku katanya.

3.  Belajar membaca dengan mengeja

Model ini di awali dengan pengenalan huruf baru kemudian merangkainya menjadi gabungan huruf dan kemudian kata. Sebenarnya metode ini sudah jarang digunakan orang karena memang terbukti cukup sulit bagi anak.
Kerja otak kiri akan semakin dominan jika kita memakai metode ini. Anak-anak harus melewati tiga tahapan menuju kata, yaitu huruf, suku kata, lalu kata. Memang ada anak-anak yang bisa belajar dengan metode ini, tapi lagi-lagi latihan membaca kata secara intensif harus mengiringinya agar anak-anak merasa percaya diri untuk membaca.


Belajar Multi Metode

Adakalanya spesialisasi itu baik untuk mengenal kedalaman suatu ilmu, tapi dalam belajar membaca kita bisa mempergunakan multi metode sekaligus tanpa harus merasa tabu hanya karena teori yang kita peroleh dianggap paling rasional.
Dengan kata lain, kita bisa memperkenalkan pada anak-anak kita semuanya, huruf, suku kata, ataupun kosa kata. Catatan pentingnya tentu saja: sajikan dengan perasaan riang sehingga anak-anak kita pun mendeteksi kegembiraan dan ketulusan yang kita berikan pada mereka. Hal itu jauh lebih berarti dan lebih efektif daripada segudang metode terhebat sekalipun.

Tersisa dari itu semua, “kita memang tak boleh berhenti belajar”

Jumat, 04 Maret 2016

PENGENALAN MATEMATIKA USIA DINI

PENGENALAN MATEMATIKA USIA DINI


HAKIKAT PENGENALAN MATEMATIKA ANAK USIA DINI

Definisi
Matematika adalah ilmu tentang bilangan-bilangan, hubungan antar bilangan dan prosedur operasional yang digunakan dalam penyelesaian persoalan mengenai bilangan (pusat pembinaan dan pengembangan bahasa (1991).
Matematika adalah bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari pernyataan yang ingin di sampaikan (suriasumantri, 1982)
Matematika sebagai ilmu tentang struktur dan hubungan-hubunganya memerlukan simbol-simbol  untuk membantu memanipulasi aturan-aturan melalui operasi yang ditetapkan (Paimin, 1998)
Kesimpulan, matematika adalah sesuatu yang berkaitan dengan ide-ide/konsep-konsep abstrak yang tersusun secara hirarkis melalui penalaran yang bersifat deduktif, sedangkan matematika di  PAUD adalah kegiatan belajar tentang konsep matematika melalui aktifitas bermain dalam kehidupan sehari-hari dan bersifat ilmiah.

TUJUAN PENGENALAN MATEMATIKA PADA ANAK USIA DINI:

A.   Tujuan Umum
Agar anak mengetahui dasar-dasar pembelajaran berhitung/ matematika, sehingga pada saatnya nanti anak akan lebih siap mengikuti pembelajaran matematika pada jenjang pendidikan selanjutnya yang lebih komplek.
B.   Tujuan khusus
Dapat berpikir logis dan sistematis sejak dini melalui pengamatan terhadap benda-benda kongkrit, gambar-gambar atau angka-angaka yang terdapat di sekitar anak.
Dapat menyesuaikan dan melibatkan diri dalam kehidupan masyarakat yang dalam kesehariannya memerlukan keterampilan berhitung.
Memiliki ketelitian, konsentrasi, abstraksi dan daya apresiasi yang tinggi.
Memiliki pemahaman konsep ruang dan waktu serta dapat memperkirakan kemungkinan urutan sesuatu peristiwa terjadi di sekitarnya.
Memiliki kreativitas dan imajinasi dalam menciptakan sesuatu secara spontan.


PRINSIP-PRINSIP PERMAINAN MATEMATIKA ANAK USIA DINI

ü  Permainan matematika di berikan secara bertahap diawali dengan menghitung benda-benda atau pengalaman peristiwa kongkrit yang dialami melalui pengamatan terhadap alam sekitar.
ü  Pengetahuan dan keterampilan pada permainan matematika diberikan secara bertahap menurut tingkat kesukaranya, misalya dari kongkrit ke abstrak, mudah ke sukar, dana dari sederhana ke yang lebih kompleks
ü  Permainan matematika akan berhasil jika anak-anak diberi kesempatan berpartispasi dan dirangsang untuk menyelesaikan masalah-masalahnya sendiri.
ü  Permainan matematika membutuhkan suasana menyenangkan dan memberikan rasa aman serta kebebasan bagi anak. Untuk itu diperlukan alat peraga/ media yang sesuai dengan tujuan, menarik, dan bervariasi, mudah digunakan dan tidak membahayakan.
ü  Bahasa yang digunakan didalam pengenalan konsep berhitung seyogyanya bahasa yang sederhana dan jika memungkinkan mengambil contoh yang terdapat di lingkungan sekitar anak.
ü  Dalam permainan matematika anak dapat di kelompokkan sesuai tahap penguasaan berhitung yaitu tahap konsep, masa transisi dan lambang.
ü  Dalam mengevaluasi hasil perkembangan anak harus dimulai dari awal sampai akhir kegiatan.


                                                                 MATERI II

LANDASAN PENGENALAN MATEMATIKA ANAK USIA DINI

Beberapa teori yang mendasari perlunya permainan matematika anak usia dini adalah sebagai berikut:
1. Tingkat Perkembangan Mental Anak
Jean Piaget, menyatakan bahwa kegiatan belajar memerlukan kesiapan dalam diri anak. Artinya belajar sebagai suatu proses membutuhkan aktifitas baik fisik maupun psikis.selain itu kegiatan belajar pada anak harus disesuaikan dengan tahap-tahap perkembangan mental anak, karena belajar bagi anak harus keluar dari anak itu sendiri.
Anak usia TK berada pada tahapan pra-operasional kongkrit yaitu tahap persiapan kearah pengorganisasian pekerjaan yang kongkrit dan berpikir intuitif dimana anak mampu mempertimbangkan tentang besar, bentuk dan benda-benda didasarkan pada interpretasi dan pengalamannya (persepsinya sendiri).
2. Masa Peka Berhitung Pada Anak
Perkembangan dipengaruhi oleh faktor kematangan dan belajar. Apabila anak sudah menunjukan masa peka (kematangan) untuk berhitung, maka orang tua dan guru di TK harus tanggap, untuk segera memberikan layanan dan bimbingan sehingga kebutuhan anak dapat terpenuhi dan tersalurkan dengan sebaik-baiknya menuju perkembangan kemampuan berhitung yang optimal.
Anak usia TK adalah masa yang sangat strategis untuk mengenalkan berhitung di jalur matematika, karena usia TK sangat peka terhadap rangsangan yang diterima dari lingkungan. Rasa ingin tahunya yang tinggi akan tersalurkan apabila mendapat stimulasi/rangsangan/motivasi yang sesuai dengan tugas perkembangan-nya. Apabila kegiatan berhitung diberikan melalui berbagai macam permainan tentunya akan lebih efektif karena bermain merupakan wahana belajar dan bekerja bagi anak. Diyakini bahwa anak akan lebih berhasil mempelajari sesuatu apabila yang ia pelajari sesuai dengan minat, kebutuhan dan kemampuannya.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Orborn (1981) perkembangan intelektual pada anak berkembang sangat pesat pada kurun usia nol sampai dangan pra-sekolah (4-6 tahun). Oleh sebab itu, usia pra-sekolah sering kali disebut sebagai “masa peka belajar”. Pernyataan didukung oleh Benyamin S. Bloom yang menyatakan bahwa 50% dari potensi intelektual anak sudah terbentuk usia 4 tahun kemudian mencapai sekitar 80% pada usia 8 tahun.
3. Perkembangan Awal Menentukan Perkembangan Selanjutnya
Hurlock (1993) mengatakan bahwa lima tahun pertama dalam kehidupan anak merupakan peletak dasar bagi perkembangan selanjutnya. Anak yang mengalami masa bahagia berarti terpenuhinya segala kebutuhan baik fisik maupun psikis di awal perkembangannya diramalkan akan dapat melaksanakan tugas-tugas perkembangan selanjutnya. Piaget juga mengatakan bahwa untuk meningkatkan perkembangan mental anak ke tahap yang lebih tinggi dapat dilakukan dengan memperkaya pengalaman anak terutama pengalaman kongkrit, karena dasar perkembangan mental adalah melalui pengalaman-pengalaman aktif dengan menggunakan benda-benda di sekitarnya. Pendidikan di TK sangat penting untuk mencapai keberhasilan belajar pada tingkat pendidikan selanjutnya. Bloom bahkan menyatakan bahwa mempelajari bagaimana belajar (learning to learn) yang terbentuk pada masa pendidikan TK akan tumbuh menjadi kebiasaan di tingkat pendidikan selanjutnya.Hal ini bukanlah sekedar proses pelatihan agar anak mampu membaca, menulis dan berhitung, tetapi merupakan cara belajar mendasar, yang meliputi kegiatan yang dapat memotivasi anak untuk menemukan kesenangan dalam belajar, mengembangkan konsep diri (perasaan mampu dan percaya diri), melatih kedisiplinan, keberminatan, spontanitas, inisiatif, dan apresiatif.

Sejalan dengan beberapa teori yang telah dikemukakan di atas, permainan matematika anak usia dini seyogyanya dilakukan melalui tiga tahapan penguasaan berhitung di jalur matematika yaitu:
1.    Penguasaan konsep
Pemahaman atau pengertian tentang sesuatu dengan menggunakan benda dan peristiwa kongkrit,seperti pengenalan warna, bentuk, dan menghitung benda/ bilangan.
2.    Masa transisi
Proses berpikir yang merupakan masa peralihan dari pemahaman kongkrit menuju pengenalan lambang yang abstrak, dimana benda kongkrit itu masih ada dan mulai dikenalkan bentuk lambangnya.
3.    Lambang
Merupakan visualisasi dari berbagai konsep. Misalnya lambang 7 untuk menggambarkan konsep bilangan tujuh, merah untuk menggambarkan konsep warna, besar untuk ,menggambarkan konsep ruang, dan sebagainya.


MANFAAT PERMAINAN MATEMATIKA UNTUK PAUD

Membelajarkananak berdasarkan konsep matematika yang benar.
Menghindari ketakutan matematika sejak awal.
Membantu anak belajar matematika secara alami melalui kegiatan bermain.

Peran guru dalam mengembangakan kegiatan belajar matematika adalah
membangun rasa ingin tahu anak secara alami tentang bentuk, ukuran, jumlah, konsep-konsep dasar lain dalam matematika.
Peduli dan tertarik terhadap apa yang dikatakan anak. Hal ini akan mendorong anak untuk menceritakan pengalaman dan penemuan mereka.
Penerimaan terhadap sejumlah kegiatan matematika yang dilakukan anak. Hal ini akan mendorong  kepercayaan diri untuk tetap berpikir, bertanya, dan berbagi pengalaman tentang hal berbagai hal yang dialami anak.

PENGENALAN DINI KEMAMPUAN BERHITUNG

Ciri-ciri yang menandai bahwa anak sudah mulai menyenangi permainan berhitung antara lain:
Secara spontan telah menunjukan ketertarikan pada aktivitas permainan berhitung.
Anak mulai menyebut urutan bilangan tanpa pemahaman.
Anak mulai menghitung benda-benda yang ada di sekitarnya secara spontan.
Anak mulai membanding bandingkan benda-benda dan peristiwa yang ada di sekitarnya.
Anak mulai menjumlah-jumlahkan atau mengurangi angka dan benda-benda yang ada di sekitarnya tanpa disengaja.

Hal yang perlu diperhatikan:
Apabila ada anak yang cepat menyelesaikan tugas yang diberikan guru, hal inii menunjukkan bahwa anak tersebut telah siap untuk diberikan permainan berhitung dengan tingkat kesulitan yang lebih tinggi.
Apabila anak menunjukan tingkah laku jenuh, diam, acuh tak acuh atau mengalihkan perhatian pada hal lain, hal ini menunjukan bahwa telah terjadi masalah pada anak. Itu berarti, anak membutuhkan perhatian atau perlakuan yang lebih khusus dari guru.


                                                                         MATERI III

                                   STANDAR MATEMATIKA UNTUK ANAK USIA DINI

The principles and strandards for school mathematics (prinsip dan standar untuk matematika sekolah), yang dikembangkan oleh kelompok pendidik dari national council of Teacher of mathematics (NCTM, 2000) memaparkan harapan matematika untuk anak usia dini.konsep-konsep yang bisa dipahami anak usia dini antara lain:
1.    Bilangan
Salah satu konsep matematika yang paling penting dipelajari anak adalah pengembangan kepekaan bilangan. Peka terhadap bilangan berarti tidak sekedar menghitung. Kepekaan bilangan itu mencakup pengembangan rasa kuantitas dan pemahaman kesesuaian satu lawan satu. Ketika kepekaan terhadap bilangan anak-anak berkembang, mereka menjadi semakin tertarik pada hitung-menghitung. Menghitung ini menjadi landasan bagi pekerjaan dini anak-anak dengan bilangan.
2.    Aljabar
Menurut NTCM (2000), pengenalan aljabar dimulai dengan menyortir, menggolongkan, membandingkan, dan menyusun benda-benda menurut bentuk, jumlah, dan sifat-sifat lain, mengenal, menggambarkan, dan memperluas pola akan memberi sumbangan kepada pemahaman anak-anak tentang penggolongan.
3.    Penggolongan
Penggolongan (klasifikasi) adalah salah satu proses yang penting untuk mengembangakn konsep bilangan. Supaya anak mampu menggolongkan atau menyortir benda-banda, mereka harus mengembangkan pengertian tentang “saling memiliki kesamaan”, “keserupaan”, “kesamaan”, dan “perbedaan”. Kegiatan yang dapat mendukung kemampuan klasifikasi anak adalah:
Membandingkan
Adalah proses dimana anak membangun suatu hubungan antara dua benda berdasarkan atribut tertentu. Anak usia dini sering membuat perbedaan, terutama bila perbandingan itu melibatkan mereka secara pribadi.
Menyusun
Menyusun atau menata adalah tingkat lebih tinggi dari perbandingan. Menyusun melibatkan perbandingan benda-benda yang lebih banyak, menempatkan benda-benda dalam satu urutan. Kegiatan menyusun dapat dilakukan didalam maupun luar kelas, misalnya menyusun buku yang diatur dari yang paling tebal, mengatur barisan dari anak yang paling tinggi/ pendek, dll.
4.    Pola-pola
Mengidentifikasi dan menciptakan pola dihubungkan dengan penggolongan dan penyortiran. Anak mulai melihat atribut-atribut yag sama dan berbeda pada gambar dan benda-benda. Anak-anak senang membuat pola di lingkungan mereka.
5.    Geometri
Membangun konsep geometri pada anak di mulai dengan mengidentifikasi bentuk-bentuk, menyelidiki bangunan dan memisahkan gambar-gambar biasa seperti segi empat, lingkaran, segitiga. Belajar konsep letak seperti dibawah, di atas, kiri, kanan meletakkan dasar awal memahami geometri.
6.    Pengukuran
Ketika anak mempunyai kesempatan untuk pengalaman-pengalaman langsung untuk mengukur, menimbang, dan membandingkan ukuran benda-benda, mereka belajar konsep pengukuran. Melalui pengalaman ini anak mengembangkan sebuah dasar kuat dalam konsep-konsep pengukuran.
7.    Analisis data dan probabilitas
Percobaan dengan pengukuran, penggolongan, dan penyortiran merupakan dasar untuk memahami probabilitas dan analisis data. Ini berarti mengemukakan pertanyaan, mengumpulkan informasi tentang dirinya dan lingkungan mereka, dan menyampaikan informasi ini secara hidup.

PERMAINAN BERHITUNG DI JALUR MATEMATIKA
Kemampuan yang diharapkan dalam permainan berhitung di PAUD dapat dilaksanakan melalui penguasaan konsep, transisi dan lambang yang terdapat di semua jalur metematika, yang meliputi pola, klasifikasi bilangan, ukuran, geometri, estimasi, dan statistika.
1. Bermain pola
Anak diharapkan dapat mengenal dan menyusun pola-pola yang terdapat disekitarnya secara berurutan, setelah melihat dua sampai tiga pola yang ditujukan oleh guru anak mampu membuat urutan pola sendiri sesuai dengan kreativitasnya. Pelaksanaan bermain pola di kelompok A dan B dimulai dengan menggunakan pola yang mudah/sederhana untuk selanjutnya pola menjadi yang kompleks.
2. Bermain Klasifikasi
Anak diharapkan dapat mengelompokkan atau memilih benda berdasarkan jenis, fungsi, warna, bentuk pasangannya sesuai dengan yang dicontohkan dan tugas yang diberikan oleh guru.
3. Bermain Bilangan
Anak diharapkan mampu mengenal dan memahami konsep bilangan, transisi dan lambang sesuai dengan jumlah benda-benda pengenalan bentuk lambang dan dapat mencocokan sesuai dengan lambang bilangan.
4. Bermain Ukuran
Anak Diharapkan dapat mengenal konsep ukuran standard yang bersifat informal atau alamiah, seperti panjang, besar, tinggi, dan isi melalui alat ukur alamiah, antara lain jengkal, jari, langkah, tali, tongkat, lidi, dan lain-lain.
5. Bermain Geometri
Anak diharapkan dapat mengenal dan menyebutkan berbagai macam benda, berdasarkan bentuk geometri dengan cara mengamati benda-bendayang ada disekitar anak misalnya lingkaran, segitiga, bujur sangkar, segi empat, segi lima, segi enam, setengah lingkaran, bulat telur (oval).
6. Bermain Estimasi (Memperkirakan)
Anak diharapkan dapat memiliki kemampuan memperkirakan (estimasi) sesuatu misalnya perkiraan terhadap waktu, luas jumlah ataupun ruang. Selain itu anak terlatih untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan yan akan dihadapi.
– Perkiraan waktu misalnya:
• Berapa hari biji tumbuh?
• Berapa lama kita makan?
• Berapa lama anak dapat memantulkan bola?
• Berapa ketukan gambarnya selesai?
– Perkiraan luas, misalnya: berapa keping untuk menutupi meja?
– Perkiraan jumlah, misalnya: berapa jumlah ikan yang ada dalam aquarium?
– Perkiraan ruang, misalnya: berapa anak bergandengan untuk dapat mengelilingi kelas ini?
7. Bermain Statistika
Anak diharapkan dapat memiliki kemampuan untuk memahami perbedaan-perbedaan dalam jumlah dan perbandingan dari hasil pengamatan terhadap suatu objek (dalam bentuk visual).





                                                                       MATERI IV

                                            METODE PERMAINAN BERHITUNG


Metode yang digunakan oleh guru adalah salah satu kunci pokok di dalam keberhasilan suatu kegiatan belajar yang dilakukan oleh anak. Pemilihan metode yang akan digunakan harus relevan dengan tujuan penguasaan konsep, transisi dan lambang dengan berbagai variasi materi, media dan bentuk kegiatan yang akan dilakukan. Adapun metode yang dapat digunakan antara lain:
1. Metode Bercerita:
Adalah cara bertutur kata dan menyampaikan cerita atau memberikan penerangan kepada anak secara lisan. Jenisnya antara lain, bercerita dengan alat peraga, tanpa alat peraga, dengan gambar, dan lain-lain.
2. Metode Bercakap-cakap:
Adalah salah satu penyampaina bahan pengembangan yang dilaksanakan melalui bercakap-cakap dalam bentuk tanya jawab antara anak dengan guru, atau anak dengan anak. Jenisnya antara lain: bercakap-cakap bebas, berdasar-kan gambar seri, atau berdasarkan tema.
3. Metode Tanya Jawab:
Dilaksanakan dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang dapat memberi-kan rangsangan agar anak aktif untuk berpikir. Melalui pertanyaan guru, anak akan berusaha untuk memahaminya dan menemukan jawabannya.
4. Metode Pemberian Tugas:
Adalah pemberian kegiatan belajar mengajar dengan memberikan kesempatan kepada anak untuk melaksanakan tugas yang telah disiapkan oleh guru.
5. Metode Demonstrasi:
Adalah suatu cara untuk mempertunjukan atau memperagakan suatu objek atau proses dari suatu kegiatan atau peristiwa.
6. Metode Eksperimen:
Adalah metode kegiatan dengan melakukan suatu percobaan dengan cara mengamati proses dan hasil dari percobaan tersebut. Berbagai metode yang lain pada dasarnya dapat digunakan di dalam permainan berhitung. Hal ini disesuaikan dengan situasi, kondisi dan kebutuhan serta tergantung kepada kreativitas guru.


PEMANFAATAN MEDIA UNTUK PENGENALAN MATEMATIKA ANAK USIA DINI
Media yang dapat digunakan untuk pembelajaran pengenalan matematika anak usia dini:
1.    Media visual
Adalah media yang hanya dapat dilihat. Yang termasuk dalam media ini, misalnya gambar, kartu angka, flashcard, benda tiga dimensi (dadu angka, balok, menara ngka, pohon hitung), model realia/ benda nyata, dll.
2.    Media audio
Adalah media yang mengandung pesan dalam bentuk auditif (hanya dapat didengar) yang dapat merangsang pikiran, perasaan, dan kemauan anak untuk mempelajari isi tema. Misalnya: kaset lagu anak-anak, dll.
3.    Media audio visual
Adalah alat-alat yang ”audible” artinya dapat didengar dan yang ”visible” artinya dapat dilihat. Misalnya pembelajaran dengan multimedia, televisi, CD Pembelajaran matematika, dll.
4.    Lingkungan sekitar
Lingkungan sekitar dapat dimanfaatkan untuk pengenalan matematika anak usia dini, bahkan dengan pemanfaatan lingkungan sekitar ini akan lebih mendorong anak untuk memahami konsep matematika secara alamiah. Contoh kegiatanya antara lain pembelajaran diluar kelas, eksperimen, eksplorasi, dll.


                                                                           MATERI V
                                                   PERKEMBANGAN KOGNITIF ANAK

Para ahli psikologi perkembangan mengakui bahwa pertumbuhan itu berlangsung secara terus menerus dengan tidak ada lompatan. Kemajuan kompetensi kognitif diasumsikan bertahap dan berurutan selama masa kanak-kanak Piaget melukiskan urutan tersebut ke dalam empat tahap perkembangan yang berbeda secara kualitatif yaitu : (1) tahap sensori motor, (2) tahap praoperasional, (3) tahap operasional konkrit dan (4) tahap operasional formal.
a. Tahap Sensorimotor (0 – 2 tahun)
Tahap sensorimotor ini ada pada usia antara 0 – 2 tahun, mulai pada masa bayi ketika ia menggunakan pengindraan dan aktivitas motorik dalam mengenal lingkungannya. Pada masa ini biasanya bayi keberadaannya masih terikat kepada orang lain bahkan tidak   rdaya, akan tetapi alat-alat inderanya sudah dapat berfungsi. Menurut Piaget, perkembangan kognitif selama stadium sensorimotor, intelegensi anak baru nampak dalam bentuk aktivitas motorik sebagai reaksi stimulus sensorik. Dalam stadium ini yang penting adalah tindakan-tindakan konkrit dan bukan tindakan-tindakan yang imaginer atau hanya dibayangkan saja, tetapi secara perlahan-lahan melalui pengulangan dan pengalaman konsep obyek permanen lama-lama terbentuk. Anak mampu menemukan kembali obyek yang disembunyikan.
b. Tahap Praoperasional (2 – 7 tahun)
Dikatakan praoperasional karena pada tahap ini anak belum memahami pengertian operasional yaitu proses interaksi suatu aktivitas mental, dimana prosesnya bisa kembali pada titik awal berfikir secara logis. Manipulasi simbol merupakan karakteristik esensial dari tahapan ini. Hal ini sering dimanefestasikan dalam peniruan tertunda, tetapi perkembangan bahasanya sudah sangat pesat, kemampuan anak menggunakan gambar simbolik dalam berfikir, memecahkan masalah, dan aktivitas bermain kreatif akan meningkat lebih jauh dalam beberapa tahun berikutnya. Sekalipun demikian, pemikiran pada tahap praoperasional terbatas dalam beberapa hal penting. Menurut Piaget, pemikiran itu khas bersifat egosentris, anak pada tahap ini sulit membayangkan bagaimana segala sesuatunya tampak dari perspektif orang lain.
c. Tahap Operasional Konkrit (7 – 11 Tahun)
Tahap operasional konkrit dapat digambarkan pada terjadinya perubahan positif ciri-ciri negatif tahap preoprasional, seperti dalam cara berfikir egosentris pada tahap operasional konkrit menjadi berkurang, ditandainya oleh desentrasi yang benar, artinya
anak mampu memperlihatkan lebih dari satu dimensi secara serempak dan juga untuk menghubungkan dimensi-dimensi itu satu sama lain.
d. Operasional Formal ( 11 – 16 tahun)
Pada tahap operasional formal anak tidak lagi terbatas pada apa yang dilihat atau didengar ataupun pada masalah yang dekat, tetapi sudah dapat membayangkan masalah dalam fikiran dan pengembangan hipotesis secara logis. Sebagai contoh, jika A < B dan B < C, maka A < C. Logika seperti ini tidak dapat dilakukan oleh anak pada tahap sebelumnya. Perkembangan lain pada tahap ini ialah kemampuannya untuk berfikir secara sistematis, dapat memikirkan kemungkinan-kemungkinan secara teratur atau sistematis untuk memecahkan masalah. Pada tahap ini anak dapat memprediksi berbagai kemungkinan yang terjadi atas suatu peristiwa.




PENGARUH PERMAINAN MATEMATIKA TERHADAP KEHIDUPAN ANAK

Melalui permainan matematika, secara tidak langsung anak akan belajar mengenal banyak hal, diantaranya:
Perkembangan social emosi
Matematika dapat mengembangkan rasa percaya diri anak, cara yang dapat dilakukan antara lain:
Mendorong keberanian dan memberi dukungan atas usaha anak terhadap alasan matematis yang diyakininya.
Mengupayakan anak agar tidak kehilangan rasa yakin.
Bersedia menerima tanggapan anak walaupun tentang hal yang tidak logis.
Matematika dapat mengajarkan anak tentang makna bekerjasama dan berbagi, cara yang dapat dilakukan antara lain:
Memberikan kesempatan kepada anak untuk belajar dalam kelompok.
Menawarkan bermacam-macam bahan secara terbatas.
Mendorong anak untuk belajar dari suatu masalah dan berusaha menyelesaikannya bersama.
Perkembangan kreativitas
Permainan matematika memberikan kesempatan kepada anak untuk menggunakan pikiran secara kreatif. Cara yang dapat dilakukan antara lain:
Buatlah pertanyaan dalam beberapa jawaban.
Ajukan pertanyaan yang anda tidak tahu jawabannya.
Tunjukkan bahwa guru menghargai kreatifitas anak.
Perkembangan fisik
Permainan matematika dapat mengembangkan keterampilan motorik halus. Cara yang dilakukan antara lain:
Memberikan kesempatan yang luas untuk permainan manipulasi bahan seperti papan pasak, bongkar pasang, dll.
Memberi kesempatan untuk mengerjakan tugas sehari-hari seperti mengaduk juice, meletakkan buku pada almari.
Memberikan kegiatan menumpahkan atau mengunci/menutup untuk anak usia 2 dan 3 tahun.
Anak usia 4 dan 5 tahun disediakan kegiatan yang lebih variasi seperti menggunting, meronce, dll.
Permainan matematika dapat mengembangkan keterampilan motorik halus. Cara yang dilakukan antara lain:
Mendorong anak untuk bermain aktif.
Memberikan kesempatan menggunakan tubuh mereka secara bebas.
Persepsi visual dan spasial
Cara yang dapat dilakukan antara lain:
Dorong anak untuk mencoba puzzle sesuai level yang tepat.
Tawarkan bahan yang dapat membuat mereka berkreasi pada pola-pola potongan visual mereka sendiri.
Perkembangan kognitif
Permainan matematika dapat mengembangkan kognitif yang berhubungan dengan keterampilan masalah. Cara yang dilakukan antara lain:
Mengupayakan agar pemecahan masalah dibuat sesuai pengalaman.
Tidak menyepelekan solusi yang kurang logis.
Permainan matematika dapat mengembangkan kognitif yang berhubungan dengan konsep dasar ilmu pasti. Cara yang dilakukan antara lain:
Sabarlah saat anak berjuang untuk meletakkan pikiran ke dalam bahasa.
Gunakan literature untuk mendorong anak agar dapat mengucapkan konsep matematis.
Permainan matematika dapat mengembangkan kognitif yang berhubungan dengan keterampilan logis dan beralasan. Cara yang dilakukan antara lain:
Beri kesempatan anak untuk menjelaskan bagaimana mereka mendapatkan jawaban pada pertanyaan matematika.
Hargai setiap alasan anak karena alasan muncul sesuai dengan pertumbuhan mental.

EVALUASI PERKEMBANGAN MATEMATIKA ANAK

Ada beberapa alat evaluasi perkembangan matematika anak:
Pemberian tugas
Adalah cara penilaian dengan memberikan tugas-tugas tertentu sesuai dengan kemampuan yang akan diungkap. Kegiatan yang dapat dinilai melalui pemberian tugas antara lain:
Hasil karya, misalnya:
ü  Meronce
ü  Menghubungkan benda dan angka
ü  Menebalkan angka, dll
Hasil yang diperoleh dari mengatur sesuatu, misalnya:
ü  Menata barang
ü  Mengurutkan benda sesuai dengan urutan ukuran
ü  Mengelompokkan warna, benda menurut bentuk, ukuran, dll
Percakapan
Adalah penilaian yang dilakukan melalui percakapan atau cerita antara anak dengan guru, atau anak dengan anak. Kegiatan matematika yang dapat dievaluasi melalui percakapan, misalnya bercerita, menceritakan kembali cerita yang disampaikan, menceritakan tentang percobaab yang telah dilakukan, dsb.
Observasi/ pengamatan
Adalah alat pengumpul data penilaian yang dilakukan dengan mencatat gejala tingkah laku yang tampak. Misalnya: mengamati tingkah laku anak saat melakukan percobaan.
Portofolio
Adalah pengumpulan hasil karya anak secara sistematik.
Catatan anekdot
Adalah bentuk pencatatan tantang gejala tingkah laku anak yang khusus, baik positif maupun negative. Dengan catatan ini guru dapat mendeteksi anak-anak yang mempunyai potensi pada matematika maupun anak-anak yang berkesulitan dalam menghitung sehingga kita dapat memberikan tindak lanjut yang sesuai.


KARAKTERISTIK ANAK BERKESULITAN BELAJAR MENGHITUNG

Menurut Lerner (1981: 357) ada beberapa karakteristik anak berkesulitan belajar berhitung, yaitu:
1.    Gangguan hubungan keruangan.
Anak yang berkesulitan belajar sering mengalami kesulitan dalam berkomunikasi, sehingga dapat terjalin komunikasi antar mereka dalam lingkungan. Dengan kondisi tersebut dapat menyebabkan anak mengalami gangguan dalam memahami konsep-konsep hubungan keruangan yang dapat mengganggu pemahaman anak tentang sistem belajar secara keseluruhan.
Contoh: Anak tidak tahu bahwa angka 3 lebih dekat ke angka 4 dari pada ke angka 6.
2.    Kesulitan memahami konsep waktu.
Pemahaman tentang waktu biasanya melipuit sebentar, lama, kemarin, besok dan sebagainya. Pemahaman tersebut diperoleh anak karena adanya komunikasi dengan lingkungan sosial. Anak yang memiliki kesulitan belajar sering tidak memiliki lingkungan yang tidak kondusif bagi terjalinnya komunikasi yang intensif untuk memperoleh tentang konsep semacam itu. Disamping itu, adanya gangguan fungsi otak juga dapat menyebabkan anak mengalami kesulitan dalam memahami konsep waktu.
3.    Kesulitan memahami konsep kuantitas (jumlah)
Pada umumnya anak-anak memahami tentang konsep kuantitas dari pergaulan mereka dengan lingkungan sosialnya, baik di dalam keluarga maupun di luar lingkungan keluarga. Disamping dari lingkungan keluarga yang sulit bergaul, gangguan fungsi otak dan lingkungan social yang tidak kondusif dapat menyebabkan anak mengalami kesulitan dalam memahami konsep kuantitas, seperti banyak, sedikit, lima, tujuh dan sebagainya.
4.    Asosiasi Visual-Motor.
Bentuk asosiasi visual-motor merupakan bentuk kesulitan belajar yang lebih menekankan proses belajar mereka dengan cara hanya menghafal bilangan tanpa memahami maknanya. Contoh dari bentuk asosiasi visual-motor adalah anak tidak dapat menghitung benda-benda secara berurutan sambil menyebutkan bilangannya “satu, dua, tiga, empat, lima”. Anak mungkin baru memegang benda yang ketiga tetapi telah mengucapkan “lima”. Ini merupakan bentuk kesulitan belajar berhitung dalam perkataan dengan motoriknya.
5.    Kesulitan mengenal dan memahami symbol.
Anak berkesulitan belajar matematika sering mengalami kesulitan dalam mengenal dan menggunakan simbol-simbol matematika seperti +, -, =, >, < dan sebagainya. Kesulitan semacam ini disebabkan adanya gangguan memori atau ingatan dan juga adanya persepsi fisual atau penglihatan.

Kekeliruan Umum Anak Berkesulitan Belajar Berhitung
Menurut Mulyono (1997), ada beberpa jenis kekeliruan yang biasa dilakuakan oleh anak berkesulitan belajar berhitung.
1.    Kekurangan pemahaman tentang symbol.
Kesulitan tersebut terjadi karena anak tidak memahami konsep relasi antara nilai dan simbolnya. Misalnya: >, <, +, -, x, : dan lain sebagainya.
2.    Kekurangan pemahaman tentang nilai tempat.
Anak yang belum memahami nilai tempat suatu bilangan mengalami kesulitan yang berkenaan dengan penjumlahan atau pengurangan dengan cara bersusun.
3.    Kekurangan pemahaman dalam melakukan perhitungan.
Anak biasanya lebih suka untuk menghafal yang berkaitan dengan konsep penjumlahan, pengurangan, perkalian atau pembagian. Namun dengan semacam itu anak akan mengalami banyak kekeliruan jika lupa. Untuk itu guru dapat mengajarkan teknik mengingat urutan penjumlahan dan berusaha menanamkan kembali konsep yang belum dikuasai anak dengan cara peragaan.
4.    Penggunaan proses penghitungan yang keliru.
Banyak sekali kekeliruan yang dilakukan anak dalam menghitung, seperti:
Mempertukarkan symbol.
Anak sering kurang paham antara symbol penambahan, pengurangan, perkalian atau pembagian.
Satuan dan puluhan dijumlahkan tanpa memperhatikan nilai tempat.
Contoh:          34
46+
710
Tidak memperhatikan nilai tempat.
Contoh:
19
21+
13
Anak akan menghitung 1 + 9 +2 + 1 = 13

CARA BELAJAR DAN MENULIS UNTUK PAUD & TK

CARA BELAJAR MEMBACA DAN MENULIS DENGAN BERMAIN UNTUK ANAK PAUD TK


Metode membaca dan menulis yang selama ini dilaksanakan di sebagian besar lembaga PAUD dan TK, masih menggunakan metode lama yaitu mengeja dan mendektekan hurup dan angka. Cara ini sangat tidak sesuai dengan perkembangan anak, bahkan ada sebagian yang berpendapat cara ini menzalimi anak merampas hak-hak anak di usianya yang masih memerlukan kegiatan bermain ini. Karena itu diperlukan cara dan metode belajar untuk anak yang sesuai dengan tahapan usia dan perkembangannya yaitu kegiatan belajar dengan bermain, belajar membaca dan menulis dengan bermain.

Cara belajar menulis dan membaca melalui bermain yang menyenangkan untuk anak-anak PAUD dan TK ini dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut :

1. Kegiatan bermain kata dalam Pijakan awal kelompok di kelas

Di sini guru dapat memulai dengan menanyakan aktivitas anak di rumah sebelum berangkat kesekolah tadi pagi, misalnya tentang makan/sarapan apa pagi tadi?; Misalnya anak menjawab Roti, maka secara berurutan guru pendidik mengucapkan R - O - T - I (tidak dieja tapi hurufnya yang diucapkan berurutan dan perlahan) yang akan diikuti anak bersama-sama.


2. Kegiatan menulis dan menempel huruf di Kertas Buatan

Guru pendidik memberikan sebuah kalimat atau kata yang sudah dipersiapkan yang di tulis dengan huruf yang besar-besar dan seperangkan koleksi huruf abjad, lalu anak diajak menyusun huruf di atas kertas buatan yang sudah dipotong-potong. Lalu anak di suruh menempelkan atau menyisipkan huruf-huruf  sesuai dengan kalimat atau kata yang sudah dengan huruf yang besar-besar tadi, huruf yang ditempel anak disesuaikan dengan kata yang ada, seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini.


3. Kegiatan menulis dan menempel huruf di Papan Tulis

Guru pendidik mengajak anak membuat bentuk huruf di kertas yang sudah dipotong-potong. Lalu salah satu anak di suruh menempelkan kertas huruf yang dibuatnya di papan tulis, huruf yang ditempel anak kebetulan huruf B guru menyebutkan satu kata benda yang sangat dikenal anak misalnya Buku, lalu anak yang mempunyai huruf U dan K kita minta memasangnya secara acak dipapan tulis, lalu guru bersama anak-anak menyusunnya sesuai kata B-U-K-U tadi.


3. Kegiatan Menebar dan menempel kartu huruf

Guru mempersiapkan kartu huruf abjad sesuai jumlah anak didik di kelas. Anak-anak diajak kehalaman sekolah atau tanah lapang, lalu guru pendidik menaburkan kertas kecil tersebut secara bebas dan acak kehalaman. Anak disuruh mengambilnya, jangan berebutan, satu orang anak hanya boleh mengambil satu huruf, lalu anak-anak kembali ke kelas. Guru mempersilakan anak yang memegang huruf A untuk menempelkannya di papan tulis, selanjutnya huruf  K, dan U ketiga buku tersebut dapat dibaca A-K-U. Lalu guru bersama-sama membahasa kata AKU ini, siapa aku dan bagaimana aku agar anak mengetahui konsep dan makna aku ini. Selanjutnya dengan cara yang sama anak dapat menulis dan membaca kata-kata lainnya.

4. Kegiatan Menjemur Pakaian/baju huruf

Guru Pendidik mengajak anak-anak untuk membuat baju dari potongan atau lipatan kertas origami, kemudian masing-masing anak diminta menuliskan huruf awal dari namanya masing-masing di baju kertas yang telah dibuatnya tersebut. Setelah selesai guru membentangkan tali- atau benang yang telah dipersiapkan lalu guru mengajak anak-anak menjemur baju sesuai dengan kata yang diucapkan guru misalnya PAKU, maka yang menjemur adalah anak yang bernama Parmin, Ahmad, Ketty, dan Udin. bersama-sama guru pendidik bertanya pada anak-anak huruf milik siapa anak-anak akan menjawab milik Parmin, Ahmad, Ketty, dan Udin.


5. Mencantol huruf dengan Gambar

Kita dapat memanfaatkan gambar-gambar yang tersedia di tempat kita, misalnya gambar-gambar Binatang, tumbuhan, rumah, alat transfortasi, dan lain sebagainya untuk untuk kegiatan belajar membaca. Caranya guru pendidik mempersiapkan seperangkat kartu huruf yang dapat ditempel dan gambar-gambar sesuai tema yang ingin disampaikan. Guru pendidik menempelkan gambar dipapan tulis misalnya gambar Ayam lalu salah satu anak diminta memilih huruf pertama yang sesuai dengan gambar ayam tersebut, . dilanjutkan dengan anak ketiga, keempat, dan kelima, hingga tesusun kata A-Y-A-M tersebut. Diskusikan dengan anak apa yang dimaksud ayam dan bagaimana ayam tersebut.

6. Membuat Huruf dan Angka dari Lilin atau Adonan

Permainan lilin mainan atau adonan yang biasanya digunakan untuk membuat macam-macam bentuk binatang dan benda-benda lainnya juga bisa dimanfaatkan untuk mengajak anak-anak mengenal huruf dan angka. Carabnya, ajak anak berkreasi bebas membuat huruf dan angka yang cantik dari lilin adonan ini. Kemudian lakukan tanya jawab tentang apa yang dibuat anak, alasannya memilih huruf atau angka tersebut. Kemudian ajak anak untuk menggabung lilin yang dibuatnya dengan tema-temannya sehingga membuat kata-kata yang dikenalnya misalnya Sepatu, masing-masing anak dapat diminta menunjukan mana sepatu itu, dikaki anak-anak tentunya.


Demikian beberapa cara belajar membaca dan menulis dengan bermain untuk anak PAUD dan TK, kegiatan-kegiatan di atas harus dikaitkan dengan tujuan kita untuk membelajarkan anak secara khusus dalam kegiatan belajar menulis dan membaca. Berdasarkan pengalaman, cara yang demikian membuat anak lebih cepat menangkap, dapat menulis dan membaca lebih cepat tanpa membuat anak bosan dan terlihat kelelahan....Terimakasih ...semoga bermanfaat.

BOLEHKAH BELAJAR MEMBACA ANAK USIA DINI ?

BOLEHKAH BELAJAR MEMBACA ANAK USIA DINI ?

BELAJARMEMBACA.CO.ID | SEBELUMNYA, KITA PERLU PAHAMI dengan pertanyaan pembuka sebagai berikut:

Benarkah ada pendapat yang menyatakan bahwa Belajar Membaca Anak atau mengajarkan anak membaca di usia dini dapat berakibat fatal, yakni dapat merusak saraf kreativitas anak?

JAWABAN:
Hal tersebut hingga sekarang menjadi bahan perdebatan yang terus berkelanjutan. Akan menjadi benar adanya, jikalau anak memang dipaksa untuk Belajar Membaca dengan Metode Belajar Membaca konvensional tanpa memberinya celah untuk berimajinasi dan berkreasi.

SEBAGAI CONTOH:
Orangtua kerap menyatakan hal sebagai berikut kepada anaknya ketika memberikan kegiatan belajar membaca huruf alphabet dalam rangka MENGENAL HURUF.

“Nak, ini Ce. Tahu?? Ikuti mama. Ceeee. Ceeeee. Cheeeee ….!!!!”

Tanpa memberitahu kepada anak kenapa itu disebut sebagai “Ce”? Kenapa tidak bisa disebut dengan “cara” yang lain?

Ingatlah kata-kata berikut ini:
Sejatinya anak memiliki dunia imajinasi dan kreativitas yang kuat, lalu kerapkali orangtualah yang merusaknya.

Asal-usul penyebab utama dari rusaknya saraf kreatifitas anak adalah: Tidak ada ceritanya orangtua yang mengajarkan anak membaca tanpa marah-marah.

“Nak, ini huruf apa?? Apa?? Kan sudah dibilangi, kalau huruf macam gini namanya adalah huruf Em. Kok kamu bilangnya huruf Ge. Kulak an darimana kamu kok guoobloknya nggak habis-habis?”

Hingga terkadang mamanya hilang ingatan dengan mengatakan: “Kamu ini anak mama atau bukan sih? Ayo, bunyi!! Ikuti mama!! Pasang matamu baik-baik!! Em! Em! Em!!!!”

Tahukan anda bahwa di dalam setiap kepala seorang anak pada umumnya terdapat lebih dari 10 trilyun sel otak yang siap tumbuh.
Cukup dengan hanya satu bentakan atau makian saja dapat mampu membunuh lebih dari 1 milyar sel otak saat itu juga.
Cukup dengan hanya satu cubitan atau pukulan saja dapat mampu membunuh lebih dari 10 milyar sel otak saat itu juga.

INI SEBUAH KEAJAIBAN

Di usia 8 bulan, otak bayi memiliki ribuan trilyun jaringan saraf. Kemudian ketika usia 10 tahun jumlahnya berkurang menjadi 500 trilyun (bahkan bisa kurang dari itu). Pengalaman dan situasi di tahun-tahun awal kehidupan seorang anak sangat mempengaruhi pengurangan jumlah sel saraf tersebut. Semakin sering intensitas seorang anak mendapatkan bentakan atau makian, maka akan semakin besar berdampak membunuh jaringan saraf pada otak anak.

Lebih parah lagi apabila anak terlalu sering mendapatkan kekerasan baik fisik ataupun verbal, pasti akan memutus banyak mata rantai jaringan saraf pada otak kecerdasan sang anak. Kekerasan fisik dapat berupa: cubitan dan pukulan. Sedangkan kekerasan verbal dapat berupa: kritikan, kalimat bullying, atau hanya sekedar membanding-bandingkan situasi yang terjadi pada si anak dengan anak yang lain semisal: kulit hitam, hidung pesek, wajah tompelan, dan lain sebagainya.

Pilihannya ada 2: USE IT or LOOSE IT!! Menstimulasi saraf kecerdasan anak kita, atau membunuh saraf kecerdasannya. Cukup dengan memberikan 1 pujian atau pelukan hangat bagi sang anak akan membangun kecerdasannya lebih dari 10 trilyun sel otak saat itu juga.

Belajar Membaca dengan metode konvensional selain berdampak pada rusaknya saraf kreatifitas anak, juga akan berdampak: anak menjadi stress.

SEBAGAI CONTOH:

Hari ini misalnya anda DIPAKSA untuk membaca koran yang bertuliskan huruf-huruf Mandarin (huruf Phin Yin) sedangkan anda belum pernah sekali pun belajar tentang huruf-huruf Mandarin.

Apakah yang akan ada di pikiran anda? Pusing?? Stress?? Tidak tahu maksudnya?? Lalu anda hanya melihat-lihat gambarnya saja? Yang terjadi adalah: anda melihat huruf-huruf Mandarin tersebut persis seperti melihat cacing-cacing di kolam yang kena setrum. Hehe ….

Nah, begitu pula dengan anak-anak kita. Ketika mereka belajar huruf abjad atau ketika mengenal huruf dan dihadapkan dengan huruf-huruf alfabet yang merupakan hal baru bagi mereka, lalu kita memaksa mengajarkan kepada mereka cara belajar membaca dengan metode yang konvensional, maka persis!! Mereka seperti dijejali dengan huruf-huruf yang bentuknya meliuk-liuk seperti cacing tak karuan yang tak mereka mengerti apa maksudnya. Dan berpotensi anak menjadi stress serta merusak potensi kreatifitas mereka.

LALU, ADA SATU PERTANYAAN BESAR:
Sebenarnya, Boleh Ngga Sih Mengajarkan Membaca Bagi Anak Usia Dini?

JAWABANNYA:
Kenapa tidak? Mengajarkan ilmu adalah dianjurkan, bahkan sejak manusia di dalam kandungan ibu.

Termasuk mengajarkan anak membaca, sungguh diperbolehkan, selama metode belajar membaca yang digunakan adalah menyenangkan, membuat anak-anak menjadi bergembira, tidak memaksa, tidak menjadikan anak menjadi stress, dan dianjurkan dapat memberikan stimulasi bagi perkembangan daya kreativitas dan imajinasi anak.

Sebagaimana yang disampaikan oleh Glenn Doman di dalam bukunya: How to Teach Your Baby to Read, poin pentingnya: Orangtua dapat mengajarkan ilmu apapun kepada anak usia dini asalkan orangtua harus terlibat dan peduli terhadap upaya pengembangan potensi anak, serta yang paling penting adalah: dilakukan dengan penuh kegembiraan.

Ingat, tahun-tahun yang paling berdampak bagi anak adalah: justru sebelum anak masuk sekolah. Semua pakar sepakat bahwa awal-awal tahun pertama kehidupan anak adalah masa-masa emas bagi mereka. Informasi apapun yang diberikan kepada anak akan berdampak bagi kehidupan sang anak tersebut. Masa ini disebut sebagai: Golden Age. Pada masa ini, kemampuan otak anak untuk menyerap informasi sangat tinggi.

Seorang anak dapat mulai belajar bahasa sejak masih bayi. Dari 0-4 bulan, bayi merupakan ahli bahasa dunia yang jenius (LINGUIST GENIUS). Bayi mampu membedakan hingga 150 jenis suara yang akan membentuk semua bahasa di dunia. Bahkan, menurut Glenn Doman, bayi mampu menguasai 5-7 bahasa jika terus diperdengarkan kepada mereka secara teratur.

3 TAHAP PERKEMBANGAN KECERDASAN MANUSIA:

Dari usia 0 – 4 = 50% kemampuan belajar dikembangkan pada saat ini.
Usia 5 – 8 thn = 30%
9 – 18thn = HANYA 20% saja
Perkembangan kecerdasan manusia sangat pesat saat masih di usia dini. Dari usia 0-4 tahun manusia memiliki perkembangan kecerdasan sebesar 50%. Pada usia 5-8 tahun perkembangan kecerdasannya bertambah 30% menjadi 80%. Terakhir, pada usia 9-18 tahun bertambah hanya 20% saja dan mencapai titik kulminasi 100%.

Setelah usia 18 tahun, perkembangan kecerdasan manusia akan berhenti, melainkan hanya mengalami penambahan pengetahuan dan perbaikan pola belajar.

Pada anak usia dini, yang paling berpengaruh terhadap perkembangan kecerdasan anak adalah kemampuan:

visual
motorik
perseptual

Tiga hal di atas yang diolah otak manusia sedemikian hingga membentuk kecerdasan. Artinya, semakin anak mendapatkan banyak stimulus melalui visual, motorik, dan perseptual maka otaknya akan merespon dan berproses membentuk pola kecerdasan. Nah, kegiatan belajar membaca dan menulis menjadi alat bantu yang efektif dalam membentuk kecerdasan pada anak.

Kegemaran akan membaca itu penting, dan perlu dikembangkan pada anak sejak usia dini. Membaca dapat bermanfaat memberikan nilai lebih yang besar bagi anak berupa kecerdasan secara fisik (psikomotorik), emosi (afektif), dan intelektual (kognitif).

MENJADI CATATAN PENTING:

The Method of Learning is More Important than The Lesson
“Metode Belajar adalah lebih penting daripada pelajaran”

Metode merupakan instrumen utama dari pendidikan. Pendidikan jika tidak menggunakan metode yang jitu akan menghasilkan output yang kurang efektif dan memerlukan proses yang lebih sukar serta lama. Pendidikan jika menggunakan metode yang jitu dan cespleng maka tentu akan menghasilkan output yang maksimal, efektif, dan melewati proses yang lebih mudah serta efisien.

Begitu juga dalam kegiatan BELAJAR MEMBACA ANAK, diperlukan tools metode belajar membaca yang efektif agar berdampak bagi anak sehingga lebih mudah dan cepat bisa membaca, serta melalui proses pembelajaran tersebut secara menyenangkan seraya dapat memacu daya kreatifitas dan inisiatif anak.

Sebuah ironi di negara kita hingga saat ini, 20-30% jumlah anak usia sekolah mengalami kesulitan dalam membaca. Menjadi sangat ironi pula, pemerintah tidak memperbolehkan sekolah-sekolah TK untuk memberikan pelajaran membaca bagi siswanya. Sedangkan, ketika memasuki Sekolah Dasar (SD) sebagian besar pihak sekolah menuntut siswanya untuk bisa membaca, bahkan tidak sedikit pula yang menyelenggarakan tes membaca ketika penerimaan siswa baru. Yang tidak bisa membaca seakan-akan mendapatkan predikat sebagai siswa yang ketinggalan, sebagian menjadi malu, sebagian menurunkan harga diri dan motivasi belajar mereka.

Ketrampilan membaca menjadi sangat penting, karena hal tersebut menjadi pilar utama dari pendidikan. Dengan kemampuan membaca, anak akan memperoleh banyak pengetahuan, kreativitas, dan nilai-nilai kebaikan sebagai modal keberhasilan masa depan mereka.

Anak-anak zaman sekarang belajar dengan cara yang berbeda, karena anak-anak zaman sekarang jauh lebih cerdas. Berdasarkan kajian dari Sam Goldstein, neuropsychologist from the University of Utah, menyatakan bahwa anak-anak zaman sekarang memiliki tingkat kecerdasan yang jauh lebih tinggi dibandingkan generasi sebelumnya. Hal tersebut terlihat dari peningkatan hasil tes kecerdasan yang jauh lebih baik dan menampilkan angka-angka yang cenderung terus mengalami kenaikan.

Anak-anak di zaman sekarang berbeda, sehingga membutuhkan alat pembelajaran yang lebih efektif. Anak kita membutuhkan sebuah program atau metode yang dapat menjawab kebutuhan mereka dalam hal cara belajar membaca.

Metode belajar membaca yang tradisional menjadi tidak efektif lagi. Metode belajar membaca anak usia dini harus lebih interaktif dan inovatif untuk menarik perhatian mereka dan membuat mereka menjadi lebih cerdas dan kreatif.

Dan kini, telah hadir untuk Anda, Belajar Membaca METODE FAST. Sebuah metode Belajar Membaca yang inovatif dan menyenangkan. Inilah sebuah terobosan baru dalam bidang pengajaran belajar membaca anak, yang membuat anak bisa cepat membaca secara cerdas dan menyenangkan dalam tempo waktu yang sangat singkat.
PAUD (pendidikan anak usia dini)


Belajar Membaca Untuk Anak Usia Dini

 Bisa membaca di usia dini mungkin bukanlah segalanya. Ada hal yang lebih penting dari kemampuan membaca, yang justru agak sering terlewatkan, yaitu bagaimana membuat anak-anak senang dengan buku dan kegiatan membaca.
Jika pembentukan kebiasaan membaca kurang dibangun, tak jarang, ada anak yang sudah bisa membaca tetapi tidak tertarik dengan buku.
Akan tetapi, tidaklah pula berlebihan jika orang tua mulai menyediakan media Belajar membaca (apapun itu) pada saat anak-anak terlihat begitu antusias dengan buku dan kegiatan membaca, meskipun mereka masih berusia balita atau bahkan batita. Kontroversi tentang hal tersebut memang masih selalu hangat dibicarakan dan tak pernah ada habisnya dari waktu ke waktu. Beberapa pihak bahkan melarang orang tua atau guru untuk mengajarkan keterampilan membaca pada usia dini, dengan alasan takut anak-anak jadi terbebani, sehingga mereka menjadi benci dengan kata “Belajar”.
Namun sejauh pengalaman saya, selama prinsip belajar ‘fun’ yang dikembangkan, materi apapun yang diajarkan kepada anak usia dini selalu direspon dengan baik dan anak-anak suka untuk belajar. Mengajak anak-anak untuk belajar membaca menurut saya jauh lebih baik daripada membiarkan mereka menonton TV seharian. Tanpa kita sadari sesungguhnya anak-anak juga belajar sesuatu lewat TV, yang sayangnya lebih banyak berupa hal-hal negatif daripada hal-hal yang positif.

 Seputar metode belajar

Metode mengajar balita membaca sangatlah beragam. Karena begitu beragamnya, lagi-lagi kita akan menemukan perbedaan dasar pemikiran dari metode-metode tersebut. Meskipun kadang-kadang sering mencuat pertentangan yang tajam antar berbagai metode, kita tak perlu bingung. Kenali saja semua konsep yang ditawarkan, dan kenali pula gaya belajar anak-anak kita. Jika metode dan gaya belajar cocok, kita bisa lebih mudah memotivasi anak untuk belajar.
Berdasarkan telaah saya, sejauh ini di dunia belajar ini dikenal 2 metode besar, yaitu metode terstruktur dan metode tidak terstruktur (acak). Keduanya tidak lebih baik atau lebih jelek dari yang lainnya. Metode terstruktur dan tidak terstruktur (acak) bisa saling melengkapi sesuai karakter dua belahan sisi otak kita yang kini populer dengan istilah otak kiri dan otak kanan.
Otak kiri memiliki karakteristik yang teratur, runut (sistematis), analitis, logis, dan karakter-karakter terstruktur lainnya. Kita membutuhkan kerja otak kiri ini untuk menyelesaikan masalah-masalah yang berhubungan dengan data, angka, urutan, dan logika.

Adapun karakteristik otak kanan berhubungan dengan rima, irama, musik, gambar, dan imajinasi. Aktivitas kreatif muncul atas hasil kerja otak kanan.
Melalui deskripsi tentang karakteristik dua belahan otak tersebut, kita tentu bisa melihat bahwa keduanya tidak bisa dipisahkan dari kehidupan kita. Apa jadinya para kreator-kreator seni jika tak punya tim manajemen yang handal. Bisa kita bayangkan pula sepi dan monotonnya dunia ini jika penghuninya hanyalah para ahli matematika atau akuntansi yang selalu sibuk dengan angka. Secara personal, kita pun akan menjelma menjadi orang yang “timpang” jika tidak mampu menyeimbangkan kinerja dua sisi otak kita. Kita pun bisa tumbuh menjadi orang yang “ekstrem” dalam memandang belajar dan cara belajar.
Selain metode belajar, karakteristik anak-anak juga perlu kita ketahui dan pahami agar kita bisa merancang model-model belajar yang menarik minat anak. Beberapa karakteristik anak secara umum adalah sebagai berikut:
1. Konsentrasi lebih pendek (relatif)
2. Tidak suka diatur/dipaksa
3. Tidak suka dites
Ketiga ciri tersebut jelas menunjukkan kepada kita bahwa mengajar balita membaca tak bisa dilakukan dengan cara-cara orang dewasa. Kita membutuhkan teknik-teknik yang lebih bervariasi dan adaptif terhadap kecenderungan anak-anak. Dan hanya satu kegiatan yang bisa melumerkan 3 karakteristik di atas yaitu BERMAIN. Mengapa? Karena dalam bermain anak-anak tidak menemukan tes, paksaan, dan batas waktu. Ketika bermainlah anak-anak menemukan kebebasan dirinya untuk berekspresi. Ketika bermain pula mereka menemukan kesenangan mereka.

Model-model belajar membaca untuk inspirasi

1.  Belajar membaca lewat kosa kata
Kosa kata adalah pembentuk kalimat. Lewat kosa kata yang makin beragam, kalimat yang kita keluarkan pun akan semakin kaya. Lewat kosa kata, anak-anak akan belajar tak hanya kemampuan membaca tetapi juga perbendaharaan dan pemahaman akan kata-kata yang akan mereka gunakan dalam berbicara.
Variasi yang bisa digunakan diantaranya, kartu kata yang disajikan dengan model Glen Doman, poster kata yang ditempel di dinding, buku-buku bergambar yang kalimatnya pendek dan ukuran hurufnya cukup besar. Prinsip yang dipakai dari metode tersebut adalah belajar dengan melakukannya. BELAJAR MEMBACA dengan MEMBACA.
Hal-hal khusus yang menyertai model ini adalah kemungkinan anak-anak untuk mengenal pola lebih lama. Artinya, bisa jadi untuk bisa benar-benar membaca semua kata yang diperlihatkan kepada mereka (meski belum diajarkan) membutuhkan waktu yang cukup lama, tergantung kecepatan anak.
2. Belajar Membaca lewat Suku Kata
Model ini paling banyak digunakan, terutama di sekolah-sekolah. Prinsip dasarnya adalah terlebih dulu mengenali pola sebelum masuk pada fase membaca.
Belajar lewat suku kata misalnya ba bi bu be bo dan seterusnya juga memiliki efek tersendiri, diantaranya kecepatan membaca yang sedikit lambat jika tidak diiringi latihan langsung lewat buku atau bacaan-bacaan. Mengapa demikian? Karena anak-anak akan terbiasa dengan membaca pola lebih dulu baru membaca. Kerja otak kiri lebih dominan dalam hal tersebut.
Untuk mengimbanginya, kita harus lebih sering memotivasi anak untuk membaca kata-kata secara langsung lewat buku tanpa harus memilah suku katanya.
3.  Belajar membaca dengan mengeja
Model ini di awali dengan pengenalan huruf baru kemudian merangkainya menjadi gabungan huruf dan kemudian kata. Sebenarnya metode ini sudah jarang digunakan orang karena memang terbukti cukup sulit bagi anak.
Kerja otak kiri akan semakin dominan jika kita memakai metode ini. Anak-anak harus melewati tiga tahapan menuju kata, yaitu huruf, suku kata, lalu kata. Memang ada anak-anak yang bisa belajar dengan metode ini, tapi lagi-lagi latihan membaca kata secara intensif harus mengiringinya agar anak-anak merasa percaya diri untuk membaca.

Belajar Multi Metode

Adakalanya spesialisasi itu baik untuk mengenal kedalaman suatu ilmu, tapi dalam belajar membaca kita bisa mempergunakan multi metode sekaligus tanpa harus merasa tabu hanya karena teori yang kita peroleh dianggap paling rasional.
Dengan kata lain, kita bisa memperkenalkan pada anak-anak kita semuanya, huruf, suku kata, ataupun kosa kata. Catatan pentingnya tentu saja: sajikan dengan perasaan riang sehingga anak-anak kita pun mendeteksi kegembiraan dan ketulusan yang kita berikan pada mereka. Hal itu jauh lebih berarti dan lebih efektif daripada segudang metode terhebat sekalipun.
Tersisa dari itu semua, “kita memang tak boleh berhenti belajar”

Pentingnya Pendidikan Anak Usia Dini

Pentingnya Pendidikan Anak Usia Dini


Pendidikan adalah merupakan aset penting bagi kemajuan sebuah bangsa, oleh karena itu setiap warga Negara harus dan wajib mengikuti jenjang pendidikan, baik jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah maupun tinggi. Dalam bidang pendidikan seorang anak dari lahir memerlukan pelayanan yang tepat dalam pemenuhan kebutuhan pendidikan disertai dengan Pemahaman mengenai karakteristik anak sesuai pertumbuhan dan perkembangannya akan sangat membantu dalam menyesuaikan proses belajar bagi anak dengan usia, kebutuhan, dan kondisi masing-masing, baik secara intelektual, emosional dan sosial.
Sebelum bicara lebih jauh, apa sih pendidikan anak usia dini? Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah jenjang pendidikan sebelum jenjang pendidikan dasar yang merupakan suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagianak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut, yang diselenggarakan pada jalur formal, nonformal, dan informal.
Mengapa pendidikan anak usia dini itu sangat penting?
Berdasarkan hasil penelitian sekitar 50% kapabilitaas kecerdasan orang dewasa telah terjadi ketika anak berumur 4 tahun,8 0% telah terjadi perkembangan yang pesat tentang jaringan otak ketika anak berumur 8 tahun dan mencapai puncaknya ketika anak berumur 18 tahun, dan setelah itu walaupun dilakukan perbaikan nutrisi tidak akan berpengaruh terhadap perkembangan kognitif.



Hal ini berarti bahwa perkembangan yang terjadi dalam kurun waktu 4 tahun pertama sama besarnya dengan perkembangan yang terjadi pada kurun waktu 14 tahun berikutnya. Sehingga periode ini merupakan periode kritis bagi anak, dimana perkembangan yang diperoleh pada periode ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan periode berikutnya hingga masa dewasa. Sementara masa emas ini hanya datang sekali, sehingga apabila terlewatkan berarti habislah peluangnya.
Baca juga :  Guru Ujung Tombak Masalah Pendidikan Indonesia
Menurut Byrnes, pendidikan anak usia dini akan memberikan persiapan anak menghadapi masa-masa ke depannya, yang paling dekat adalah menghadapi masa sekolah. “Saat ini, beberapa taman kanak-kanak sudah meminta anak murid yang mau mendaftar di sana sudah bisa membaca dan berhitung. Di masa TK pun sudah mulai diajarkan kemampuan bersosialisasi dan problem solving. Karena kemampuan-kemampuan itu sudah bisa dibentuk sejak usia dini,” jelas Byrnes.
Selanjutnya menurut Byrnes, bahwa pendidikan anak usia dini itu penting, karena di usia inilah anak membentuk pendidikan yang paling bagus. Di usia inilah anak-anak harus membentuk kesiapan dirinya menghadapi masa sekolah dan masa depan. Investasi terbaik yang bisa Anda berikan untuk anak-anak adalah persiapan pendidikan mereka di usia dini.
Ada dua tujuan mengapa perlu diselenggarakan pendidikan anak usia dini, yaitu:
Tujuan utama: untuk membentuk anak yang berkualitas, yaitu anak yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan tingkat perkembangannya sehingga memiliki kesiapan yang optimal di dalam memasuki pendidikan dasar serta mengarungi kehidupan di masa dewasa.
Tujuan penyerta: untuk membantu menyiapkan anak mencapai kesiapan belajar (akademik) di sekolah.


Singkatnya, pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual), sosio emosional (sikap dan perilaku serta agama) bahasa dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini.
Apa perbedaan anak yang mendapatkan pendidikan anak usia dini di lembaga yang berkualitas dengan anak yang tidak mendapatkan pendidikan anak usia dini?
Menurut Byrnes (Peraih gelar Woman of the Year dari Vitasoy di Australia) di lembaga pendidikan anak usia dini yang bagus, anak-anak akan belajar menjadi pribadi yang mandiri, kuat bersosialisasi, percaya diri, punya rasa ingin tahu yang besar, bisa mengambil ide, mengembangkan ide, pergi ke sekolah lain dan siap belajar, cepat beradaptasi, dan semangat untuk belajar.
Sementara, anak yang tidak mendapat pendidikan usia dini, akan lamban menerima sesuatu. Anak yang tidak mendapat pendidikan usia dini yang tepat, akan seperti mobil yang tidak bensinnya tiris. Anak-anak yang berpendidikan usia dini tepat memiliki bensin penuh, mesinnya akan langsung jalan begitu ia ada di tempat baru. Sementara anak yang tidak berpendidikan usia dini akan kesulitan memulai mesinnya, jadinya lamban.
Baca juga :  Dampak Penyalahgunaan Narkoba
Tidak bisa dipungkiri bahwa pendidikan anak usia dini merupakan pendidikan yang sangat mendasar dan strategis dalam pembangunan sumber daya manusia

Kamis, 03 Maret 2016

CALISTUNG




Mengajar Anak Belajar Membaca

Banyak metode yang dapat digunakan untuk proses belajar membaca yang dilakukan anak-anak. Di rumah, kami tak memiliki metode khusus untuk belajar membaca buat anak-anak. Tapi lumayan, Yudhis dan Tata sudah mulai bisa membaca sejak umur sekitar 4 tahun, walaupun kami tak pernah memasang target tertentu kapan mereka bisa membaca.

Belajar membaca sendiri memiliki beberapa aspek:

kemampuan melakukan decoding (mengubah kode/lambang menjadi bunyi)
mengerti dan memahami bacaan
gemar/cinta membaca (ini yang paling penting)
Ada beberapa hal yang kami lakukan pada Yudhis dan Tata, yang intinya adalah membangun lingkungan, kebiasaan, dan banyak melakukan permainan.

Semua proses itu kami lakukan secara natural, spontan tanpa ada perencanaan dan jadwal khusus. Kuncinya adalah bermain dengan asyik dan dalam jangka waktu yang pendek-pendek.Juga, kami menyertakan banyak pujian untuk setiap pencapaian mereka, sekecil apapun prestasi mereka.

Berikut ini diantara kegiatan yang pernah kami lakukan bersama mereka:

a. Memasang karpet huruf
Di rumah, kami mencoba membangun lingkungan yang mendukung untuk proses belajar. Ada karpet puzzle huruf yang ada di lantai yang setiap saat dimainkan anak-anak.

b. Menonton VCD
Anak-anak di rumah senang menonton VCD. Kami memilihkan VCD-VCD yang sesuai untuk umurnya, dan sebagian diantaranya berhubungan dengan kegiatan mengenal benda dan bahasa.

c. Bermain game komputer
Ada komputer di rumah dan kami memanfaatkannya untuk berbagai hal, salah satunya adalah tempat anak-anak main game. Salah satu game yang kami gunakan untuk Yudhis dan Tata adalah Bobby Bola tentang belajar membaca.

d. Bermain tebak-tebakan
Permainan tebak-tebakan adalah salah satu favorit kami dan banyak terekspos ke anak-anak. Kami bermain tebak-tebakan apa saja, termasuk tebak-tebakan gambar, huruf, dan kata.

e. Membaca buku bersama
Kami suka buku dan itu membuat anak-anak menjadi suka buku juga. Kami memiliki rak buku berisi buku anak-anak yang bisa mereka lihat-lihat. Kami juga membaca buku cerita bersama mereka.

f. Bermain dengan flashcard
Di rumah, Lala membuat flashcard sendiri untuk bermain tebak-tebakan mengenal benda, dan juga pengenalan huruf/kata. Karena bentuknya praktis, kami memainkan flashcard ini di mana saja.

g. Menempelkan nama/kata ke benda
Kami menempelkan nama/kata pada benda-benda yang ada di sekitar dan menjadikannya sebagai bahan untuk bermain tebak-tebakan. Termasuk yang kami pasang adalah label namanya.

h.Belajar Suku Kata dan Kata
Setelah anak mulai tertarik, kami baru mulai belajar yang lebih serius. Kami biasanya menggunakan flashcard suku kata, kata, dan membuat buku cerita kecil dengan MS Word berisi cerita pendek dengan kata-kata yang telah mereka mengerti.

i. Lagu ba-bi-bu-be-bo
Kami juga menggunakan lagu ba-bi-bu-be-bo yang diajarkan oleh Eyang Putri untuk kegiatan sebagai pelengkap kegiatan mengenalkan suku kata.

Sekali lagi, inti dari kegiatan yang kami lakukan adalah:

membangun lingkungan yang kondusif
membangun kebiasaan-kebiasan positif
variasi permainan yang menyenangkan

PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN ANAK USIA DINI

PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN ANAK USIA DINI



A.      PENDAHULUAN
Pertumbuhan dan perkembangan merupakan dua istilah yang mempunyai pengertian yang berbeda, namun keduanya memiliki keterkaitan yang sangat erat bahkan tidak dapat dipisahkan antara yang satu degan lainnya.  Pertumbuhan merupakan proses kuantitatif yang menunjukkan perubahan yang dapat diamati secara fisik. Pertumbuhan dapat diamati melalui penimbangan berat badan, pengukuran tinggi badan, lingkar kepala dan sebagainya. Sementara itu, perkembangan merupakan proses kualitatif yang menunjukkan bertambahnya kemampuan (ketrampilan) dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang beraturan dan dapat diramalkan sebagai hasil dari proses pematangan.
Perkembangan berkenaan dengan keseluruhan kepribadian individu, karena kepribadian individu membentuk suatu kesatuan yang terintegrasi. Secara sederhana aspek utama kepribadian dapat dibedakan sebagai berikut: aspek fisik motorik, aspek intelektual, aspek sosial, aspek bahasa, aspek emosi, aspek moral, dan aspek keagamaan (Sukmadinata, 2009: 114).
Tahap perkembangan manusia memiliki fase-fase yang cukup panjang. Untuk tujuan pengorganisasian dan pemahaman, pada umumnya perkembangan digambarkan dalam periode-periode atau fase-fase tertentu. Klasifikasi periode perkembangan yang paling luas digunakan sebagaimana dikemukakan oleh Santrock (1993) meliputi urutan sebagai berikut:  Periode pra kelahiran (prenatal period), periode bayi (infacy period), periode awal anak-anak (early childhood period), periode pertengahan dan akhir anak anak (middle and late childhood period), periode remaja (adolescence period), periode awal dewasa (early adulthood period), periode pertengahan dewasa (middle adulthood period), dan periode akhir dewasa (late adulthood period).
Periode masa bayi dan kanak-kanak awal (usia dini) merupakan masa awal yanag sangat menentukan bagi perkembangan individu pada tahap-tahap kehidupan selanjutnya. Periode kanak-kanak awal dikatakan sebagai periode keemasan (the golden years) dimana individu mulai memasuki masa peka. Masa peka pada masing-masing anak berbeda, seiring dengan laju pertumbuhan dan perkembangan anak secara individual. Laju perkembangan dan pertumbuhan individu mempengaruhi masa keemasan dari masing-masing individu itu sendiri. Sangatlah tidak dapat dipisahkan antara perkembangan dan pertumbuhan terutama pada anak usia dini. Perkembangan motorik dan fisik individu sangatlah berhubungan dengan pertumbuhan psikisnya. Oleh karena itu psikologi perkembangan anak usia dini berkaitan sangat erat dengan pertumbuhan dan perkembangan secara menyeluruh. Masa ini sering disebut sebagai masa peka, yaitu masa terjadinya kematangan fungsi fisik dan psikis yang siap merespon stimulasi yang diberikan oleh lingkungan. Perhatian serius dari para pendidik (orang tua maupun guru) sangat diperlukan pada masa ini karena periode ini merupakan masa peletak dasar untuk mengembangkan kemampuan kognitif, motorik, bahasa, sosio emosional, moral, dan agama yang tentunya akan sangat berpengaruh terhadap kehidupan anak di masa yang akan datang.
Berikut ini akan dikemukakan pembahasan tentang perkembangan anak usia dini. Permasalahan yang akan dibahas adalah perkembangan anak pada masa bayi (usia 0-2 tahun) dan perkembangan masa kanak-kanak awal (usia 2 – 6 tahun).

B.       PERKEMBANGAN ANAK USIA 0 – 2 TAHUN
Periode perkembangan yang merentang dari kelahiran hingga usia 24 bulan (0 -2 tahun) disebut sebagai periode atau masa bayi (infacy period). Masa ini merupakan masa yang sangat bergantung kepada orang dewasa. Banyak kegiatan psikologis yang terjadi seperti bahasa, pemikiran simbolis, koordinasi sensorimotor, dan belajar sosial hanya sebagai permulaan.
Banyak ahli yang menyebut masa bayi sebagai masa fital, karena kondisi masa bayi merupakan pondasi pada pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya. Masa bayi dimulai dengan kelahiran yang diikuti dengan tangis pertama. Bayi lahir tanpa diikuti tangis pertama, harus diupayakan supaya menangis, misalnya pantatnya dipukul-pukul secara perlahan-lahan, dikipasi, atau dimasukan udara kedalam paru-parunya. Tangis pertama merupakan tanda masuknya udara keparu-paru, sehingga paru-paru berkembang dan mulai berfungsi. Jika udara tidak masuk ke paru-paru maka dapat menyebabkan kematian.
Secara umum tumbuh kembang bayi dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu:
1.    Perkembangan fisik-motorik
Pertumbuhan yang pesat selama rentang kehidupan terjadi pada masa bayi. Meskipun pola umum dari pertumbuhan dan perkembangan adalah sama bagi semua bayi, tetapi tetap ada perbedaan dalam hal tinggi badan, berat badan, kecepatan, kemampuan sensomotorik dan bidang perkembangan fisik lainnya. Beberapa bayi memulai kehidupan dengan badan yang lebih kecil dan perkembangan yang kurang normal. Hal ini bisa saja disebabkan oleh kelahiran sebelum waktunya (premateur), ibu yang belum cukup umur atau  kondisi fisik yang buruk pada saat mengandung seperti kekurangan gizi dan mengalami tekanan, kondisi kurang baik lainnya selama periode pranatal, atau mungkin juga karena adanya sebab-sebab yang lain. Perlu diingat bahwa selain masing-masing individu mempunyai tempo perkembangan yang berbeda-beda, perkembangan individu juga sangat dipengaruhi oleh faktor hereditas dan faktor lingkungan (Soemanto, 2006: 60-61).
Pada masa ini, umumnya bayi mengalami pertumbuhan fisik yang sangat pesat. Berat badan bertambah dengan cepat, begitu pula dengan tinggi atau panjang badan, besar atau lingkar kepala. Pertambahan volume serta pengerasan tulang telah dimulai pada tahun pertama, ubun-ubun anak yang ketika pertama lahir terbuka atau belum terbentuk tulang tempurung akan tertutup pada usia delapan belas bulan. Jaringan lemak bertambah pesat karena tingginya kadar lemak di dalam air susu yang menjadi makanan pokok bagi bayi.
Rata-rata anak mempunyai empat hingga enam gigi susu pada usia satu tahun dan enambelas buah gigi susu pada usia dua tahun. Gigi yang pertama kali muncul adalah gigi seri atau gigi depan, sedangkan yang terakhir adalah gigi geraham.
Secara umum pada masa bayi (usia 0-2 tahun), individu mengalami perubahan yang pesat bila dibandingkan dengan yang akan dialami pada fase-fase berikutnya. Anak sudah memiliki kemampuan dan keterampilan dasar yang berupa: keterampilan lokomotor (berguling, duduk, berdiri, merangkak dan berjalan), keterampilan memegang benda, penginderaan (melihat, mencium, mendengar dan merasakan sentuhan), maupun kemampuan untuk bereaksi secara emosional dan sosial terhadap orang-orang di sekelilingnya.
Individu dianggap sehat secara fisik apabila menampakkan pola urutan kematangan yang umum pada peristiwa biologis dari susunan saraf pusat yang menyebabkan timbulnya fungsi psikologis. Timbul kemampuan bicara antara usia satu sampai dengan tiga tahun pada hampir semua anak merupakan gambaran dari kematangan fungsi psikologis pada usia tersebut. Seorang bayi yang baru berusia tiga bulan barang kali dapat mengeluarkan bunyi atau suara (berceloteh), namun otak seorang bayi yang baru berumur tiga bulan belum cukup matang untuk dapat mengerti pembicaraan ataupun berbicara. Sementara itu, anak berusia 2 tahun yang otaknya sudah cukup matang, tidak akan berbicara bila tidak berhubungan terlebih dahulu dengan orang lain. Kematangan bukanlah penyebab timbulnya  suatu fungsi psikologis, ia hanya merupakan batas waktu yang paling dini dari penampakannya (Mussen dkk, 1988: 75).
Setiap bayi terlahir dengan sejumlah refleks. Refleks-refleks tersebut merupakan modal dasar bagi bayi untuk mengadakan reaksi dan tindakan yang bersifat aktif. Beberapa dari refleks ini akan menghilang dalam waktu tertentu dan disebut refleks anak menusu atau refleks bayi. Sedangkan sebagian refleks yang tidak hilang disebut refleks permanen. Beberapa refleks anak menusu atau refleks-refleks sementara  yang dimiliki bayi yang baru lahir antara lain:
a.      Refleks moro; Refleks ini tampak pada gerakan bayi mengembangkan tangannya melebar ke samping, melebarkan jari-jarinya lalu mengembalikan tangannya dengan tarikan cepat seakan-akan ingin memeluk seseorang. Refleks ini disebut juga refleks peluk.
b.      Refleks mencium-cium atau “rooting-reflex”; Refleks ini ditimbulkan oleh stimulasi taktil pada pipi atau daerah mulut. Bayi memutar-mutar kepalanya seakan-akan mencari punting susu.
c.       Refleks hisap; Refleks hisap biasanya timbul bersama-sama dengan rangsang pipi. Refleks ini mempunyai fungsi eksploratif yang menenangkan.
d.      Refleks genggam atau refleks Darwin,; Refleks ini dapat dibuktikan dengan membuat rangsang melalui goresan jari melalui bagian dalam lengan anak ke arah telapak tangannya. Bila rangsang hampir sampai pada telapak tangan maka telapak tangan akan terbuka. Selanjutnya bila jari diletakkan pada telapak tangan, maka anak akan menutup telapak tangannya tadi.
e.       Refleks Babinski (refleks genggam kaki). Bila ada rangsang pada telapak kaki, ibu jari kaki akan bergerak ke atas dan jari-jari lain membuka. Kedua refleks genggam ini akan menghilang pada sekitar 6 bulan (Monks dkk, 1992: 75).

Adapun kondisi atau keadaan panca indera bayi yang baru lahir antara lain dapat digambarkan sebagai berikut:
a.         Indera Penciuman/Pembau; Bayi yang baru lahir tidak menampakkan tanda-tanda bahwa indera penciumannya telah berkembang meskipun belum banyak penelitian mengenai hal ini. Bayi hanya nampak memalingkan kepalanya bila ada bau yang tidak enak.
b.        Indera Perasa/Pengecap;  Bayi yang baru lahir sudah bisa bereaksi dengan menyengirkan mukanya bila mengecap sesuatu yang tidak enak.
c.         Indera Peraba; Pada bulan terakhir periode fetal bayi sudah mulai merasakan rasa tekan dan sakit, meskipun masih global dan belum jelas. Bayi juga mempunyai jenjang rasa suhu yang lebar, dari jauh diatas sampai jauh di bawah suhu badan normal.
d.        Indera Penglihatan; Bayi mengadakan reaksi terhadap perbedaan intensitas stimulus-stimulus visual melalui refleks biji mata.
e.         Indera Pendengaran; Bayi yang baru dilahirkan sudah dapat mendengar, ia mengadakan reaksi terhadap stimulus-stimulus auditif (Monks dkk, 1992: 76).

Sebagaimana telah dikemukakan, bayi yang baru lahir dapat menunjukkan beberapa variasi refleks motorik yang kompleks. Beberapa diantaranya dibutuhkan untuk kelangsungan hidup. Bayi akan mengikuti cahaya yang bergerak dengan mata mereka, mengisap putting susu yang dimasukkan ke dalam mulut, menengok pada sentuhan di ujung mulut, dan menggeram sesuatu yang diletakkan di telapak tangannya.
Beberapa pola dan tingkah laku motorik pada bayi makin lama makin bertambah baik serta terkoordinasi, makin cermat, dan makin tepat. Hal ini, antara lain tampak pada tingkah bayi berikut ini:
a.      Kinestesi ; Bayi yang baru dilahirkan sudah mempunyai aktivitas kinestetik, yaitu sudah mempunyai gerakan penghayatan, gerakan aktif, dan sudah dapat merasakan gerakan-gerakannya. Termasuk juga dalam golongan ini pengamatan tingkah laku sendiri. Sebelum dilahirkan, fetus juga dapat melakukan aktivitas kinestesi meskipun masih sangat terbatas.
b.      Duduk ; Rata-rata, pada usia dua sampai tiga bulan bayi dapat duduk dengan bantuan orang dewasa dan pada usia tujuh bulan bayi dapat duduk sendiri tanpa bantuan orang lain.
c.       Merangkak dan merayap ; Walaupun ada perbedaan individual antara masa bayi ketika merangkak dan merayap, semua bayi yang dibolehkan bergerak di tanah cenderung mengikuti urutan yang sama. Usia rata-rata untuk dapat merangkak (bergerak dengan perut terletak pada lantai) kurang lebih lebih sembilan bulan. Merayap dengan tangan dan lutut terlihat pada usia 10 bulan. Seorang bayi dapat melampaui satu atau lebih tahap-tahap dalam perkembangan, namun kebanyakan bayi melalui sebagian besar tahap-tahap tersebut.
d.      Berdiri dan Berjalan ; Kebanyakan bayi sudah dapat berdiri beberapa minggu sebelum mereka dapat berjalan. Biasanya bayi dapat berjalan pada usia kurang lebih satu tahun meskipun ada banyak variasinya antara 9-15 bulan.
e.       Memegang/Menggenggam : Antara minggu ke-16  dan ke-52 bayi dapat memegang sesuatu dengan baik. Sekitar usia lima bulan anak dapat memegang sesuatu yang dilihatnya. Bayi usia satu bulan akan memandang benda sesuatu tetapi ia tidak akan memegangnya. Anak usia dua setengah bulan akan memukulnya dan sekitar usia empat bulan ia mencoba untuk menyentuhnya. Baru pada usia lima bulan ia mencoba untuk memegang/ meraihnya. Kemampuan ini tergantung pada pematangan fungsi-fungsi organ pada anak (faktor internal) maupun pengaruh lingkungan (faktor eksternal).
Kemampuan anak untuk dapat duduk, berdiri, berjalan, dan sebagainya tergantung pada kematangan system saraf dan otot, dan kesempatan untuk mempraktekkan kemampuan motorik. Walaupun kemampuan kematangan dapat berkembang tanpa pelajaran khusus, namun pembatasan kesemptan untuk mempraktekkan dapat menghalangi perkembangannya. Selain itu latihan khusus dapat memfasilitasi perkembangan motorik.

2.    Perkembangan Kognitif
Perkembangan kognitif adalah salah satu aspek perkembangan manusia yang berkaitan dengan pengertian (pengetahuan), yaitu semua proses psikologis yang berkaitan dengan bagaimana individu mempelajari dan memikirkan lingkungannya (Desmita, 2010: 103).
Syah (2008: 67) menyatakan bahwa hasil-hasil riset kognitif menyimpulkan bahwa semua bayi manusia sudah berkemampuan menyimpan informasi-informasi yang berasal dari penglihatan, pendengaran, dan informasi-informasi yang diserap melalui indera lainnya. Selain itu, bayi juga  berkemampuan merespons informasi-informasi tersebut secara sistematis. Hasil riset para ahli psikologi kognitif menyimpulkan bahwa aktivitas ranah kognitif manusia pada prinsipnya sudah berlangsung sejak masa bayi, yaitu pada rentang usia 0-2 tahun.
Jean Piaget sebagaimana dikutip oleh Daehler & Bukatko (1985) mengklasifikasi perkembangan kognitif anak menjadi empat tahapan yaitu:
a.         Tahap Sensory-Motor; perkembangan aspek kognitif yang terjadi pada usia   0-2 tahun
b.        Tahap Pre-Operational; perkembangan aspek kognitif yang terjadi pada usia 2-7 tahun
c.         Tahap Concrete-Operational; perkembangan aspek kognitif yang terjadi pada usia 7-11 tahun
d.        Tahap Formal-Operational; perkembangan aspek kognitif yang terjadi pada usia 7-11 tahun
Sebagian besar psikolog terutama para kognitivis (ahli psikologi kognitif) berkeyakinan bahwa proses perkembangan kognitif manusia telah berlangsung sejak dilahirkan (Syah, 2008: 66). Selama perkembangan dalam periode sensori motor yakni sejak lahir sampai dengan usia dua tahun, intelegensi yang dimiliki individu masih bersifat primitif dalam arti masih didasarkan pada perilaku terbuka. Sekalipun primitif dan terkesan tidak penting, namun intelegensi sensori motor merupakan intelegensi dasar yang sangat berarti sebagai fondasi bagi intelegensi tipe-tipe tertentu yang akan dimiliki individu di kemudian hari.
Intelegensi sensori-motor dipandang sebagai intelegensi praktis (practical intelligence) yang bermanfaat bagi individu usia 0-2 tahun untuk belajar berbuat terhadap lingkungannya sebelum ia mampu berpikir mengenai apa yang sedang ia perbuat. Individu pada periode ini belajar bagaimana mengikuti dunia kebendaan secara praktis dan belajar menimbulkan efek tertentu tanpa memahami apa yang sedang ia perbuat kecuali hanya mencari cara melakukan perbuatan sebagaimana tersebut di atas.
Ketika seorang bayi berinteraksi dengan lingkungannya, ia akan mengasimilasikan skema sensori-motor sedemikian rupa dengan mengerahkan kemampuan akomodasi yang ia miliki hingga mencapai ekuilibrium yang memuaskan kebutuhannya. Proses asimilasi dan akomodasi dalam memncapai ekuilibrium sebagaimana tersebut selalu dilakukan bayi, baik ketika ia hendak memenuhi dorongan lapar dan hausnya maupun ketika bermain dengan benda-benda mainan yang ada disekitarnya.
Setelah Piaget melakukan serangkaian eksperimen dan observasi terhadap sejumlah subjek bayi termasuk anaknya sendiri Jacquiline yang baru berusia tujuh bulan, ia menyimpulkan bahwa bayi di bawah usia 18 bulan pada umumnya belum memiliki pengenalan terhadap object permanence (anggapan bahwa sebuah benda akan tetap ada walaupun sudah ditinggalkan atau tidak dilihat lagi). Artinya, benda apapun yang tidak dilihat oleh bayi, tidak dia dengar, tidak dia sentuh selalu dianggapnya tidak ada, sekalipun benda itu sesungghnya ada di tempat lain ((Syah, 2008: 69).
Bagaimana mengenal puting-puting susu ibu yang setiap saat diperlukan, pada dasarnya bayi sudah mengenal bahkan memahami objek-objek di sekitarnya termasuk susu ibu walaupun hanya dengan sensori-motor schema (skema sensori-motor adalah sebuah atau serangkaian perilaku terbuka yang tersusun secara sistematis untuk merespons lingkungan yang berupa barang, orang, keadaan, atau kejadian). Dengan skema sensori-motor ini bayi mengenali benda-benda sebagai konfigurasi-konfigurasi (gambaran bentuk sesuatu) sensori yang stabil. Konfigurasi itu oleh Piaget disebut “tableaux” atau “tableau” (baca: teblow) yakni pemandangan tetap atau pertunjukan bisu.
Setiap bayi sejak usia dua minggu sudah mampu menemukan puting-puting susu ibunya dan selanjutnya ia belajar mengenal sifat, keadaan, dan cara yang efektif untuk mengisap sumber makanan dan meminumnya. Kemampuan mengenal melalui upaya belajar tersebut tidak berarti si bayi mengerti bahwa susu ibunya tersebut merupakan organ atau bagian dari tubuh ibunya. Yang ia pahami adalah apabila benda tableau itu didekatkan maka ia akan mengasimilasi dan mengakomodasikan skema sensori-motornya untuk mencapai ekuilibrium dalam arti dapat memuaskan atau emenuhi kebutuhannya. Dalam rntang usia 18 hingga 24 bulan, barulah kemampuan mengenal object permanence individu tersebut muncul secara bertahap dan sistematis. Benda-benda mainan dan orang-orang yang biasa berada di sekitarnya akan dicari dengan sungguh-sungguh jika ia memerlukannya.
Dasar tingkah laku bahasa pada periode bayi telah ada sejak tahun pertama. Pada usia kurang lebih enam minggu bayi mulai meraban (bercdeloteh). Meraban ini dapat dipandang sebagai permulaan bahasa dan pada sekitar tahun pertama anak mulai mengucapkan kata-kata pertama. Pada bagian kedua tahun pertama anak sudah bisa mengadakan semacam dialog dengan dirinya sendiri. Dalam hubungan ini kehadiran orang-orang di sekelilingnya yang memberikan reaksi terhadap pernyataan-pernyataan anak memiliki arti penting dan sangat membantu. Hal ini sangat penting bagi perkembangan vokal dan sosialisasinya (Monks dkk, 1992: 81).

3.    Perkembangan Psiko-Sosial
Perkembangan psikososial berhubungan dengan perubahan-perubahan perasaan atau emosi dan kepribadian, serta perubahan dalam bagaimana individu berhubungan dengan orang lain. Meskipun dalam pemenuhan kebutuhannya bayi masih sangat tergantung kepada pengasuhnya, namun bukan berarti mereka sama sekali pasif. Sejak lahir, pengalaman bayi semakin bertambah dan ia berpartisipasi aktif dalam perkembangan psikososialnya sendiri, mengamati dan berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya.
Bayi yang sedang tumbuh menjadi lebih dewasa memiliki kedekatan dan keterikatan emosional dengan orang-orang penting dalam hidupnya. Hal ini terlihat misalnya, bayi menangis ketika didekati oleh orang yang tidak dikenalnya, dan dia menyambut hangat ketika didatangi oleh ibu atau bapaknya. Bayi juga berpartisipasi dalam menjalin hubungan dengan cara-cara yang lebih halus, seperti ikut bermain  bersama saudaranya yang lebih tua. Lebih dari itu, bayi juga menyatakan perasaan atau kebutuhanya dengan caranya sendiri. Misalnya, ketika orang tuanya memberikan makanan tertentu, ia menolak, tetapi ketika yang memberikan makanan tersebut adalah baby sister yang mengasuhnya, ia menerimanya dengan perasaan senang.
Perilaku sebagaimana tersebut di atas menunjukan  adanya dua tema utama dalam perkembangan psikososial selama masa bayi, yaitu kepercayaan dan otonomi. Bayi mempelajari apa yang diharapkan dari orang-orang yang penting dalam hidupnya. Dia mengembangkan suatu perasaan mengenai siapa yang mereka senangi atau yang tidak mereka senangi dan makanan apa yang disukai dan yang tidak disukai.
Berikut ini dikemukakan beberapa hal penting yang berkaitan dengan perkembangan psikososial pada masa bayi.

a.    Perkembangan Emosi
Emosi adalah sebuah istilah yang sudah cukup popular, namun maknanya yang tepat masih membingungkan, baik dikalangan ahli psikologi maupun  ahli filsafat. Emosi adalah sebuah kata atau istilah yang sangat identik dengan perasaan. Emosi dan perasaan merupakan suasana psikis atau suasana batin yang dihayati seseorang pada suatu saat. Emosi dan perasaan adalah dua hal yang berbeda, namun perbedaan di antara keduanya tidak dapat dinyatakan dengan jelas (Sunarto & Hartono, 2008: 149). Perasaan menunjukkan suasana batin yang lebih tenang dan tertutup, sedangkan emosi menggambarkan suasana batin yang lebih dinamis, bergejolak, dan terbuka (Sukmadinata, 2008: 77). Secara sederhana emosi dapat dikatakan sebagai perasaan atau afeksi yang melibatkan kombinasi antara gejolak fisiologis (seperti denyut jantung yang cepat) dan perilaku yang tampak (seperti senyuman, teriakan, tubuh gemetar, dansebaginya).
Memahami secara pasti kondisi emosi bayi merupakan hal yang sangat sulit karena sifat emosi yang sangat subyektif, sehingga informasi mengenai emosi tersebut hanya dapat diperoleh dari individu yang bersangkutan dengan cara introspeksi yang dilakukannya. Sementara itu, bayi sesuai dengan usianya yang masih sangat muda tidak dapat menggunakan cara tersebut dengan baik. Beberapa ahli mencoba memahami kondisi emosi bayi melalui ekspresi tubuh dan wajah, namun para ahli psikologi yang lain mempertanyakan seberapa penting kedua ekspresi tubuh dan wajah itu dapat memberikan informasi yang akurat dan menentukan apakah seorang bayi berada dalam suatu kondisi emosianal tertentu.
Sukmadinata (2009: 83) menyatakan bahwa pada mulanya seorang bayi hanya memiliki satu pola rangsangan emosi yang bersifat umum. Perangsang yang kuat, suara yang keras, diabaikan oleh orang tua, dan segala perangsang yang tidak diinginkan bayi akan ditolak dengan respos berupa tangisan. Sementara itu belaian, pujian, rawatan yang menyenangkan, dan segala perangsang yang bersesuaian dengan keinginan bayi akan diterima dengan respons yang menunjukkan kegembiraan. Pola rangsangan emosi ini akan berkembang dan berdeferensiasi sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan individu. Hasil dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa perasaan senang atau tidak senang pada bayi mulai berkembang ketika bayi telah berusia enam minggu, marah pada minggu ke delapan, dan takut pada minggu ke sebelas.
Para ahli telah lama meyakini bahwa kemampuan untuk berinteraksi secara emosional sudah ada pada bayi yang baru lahir seperti menangis, tersenyum, dan frustasi. Bahkan  beberapa para peneliti percaya bahwa beberapa minggu setelah lahir, bayi dapat memperlihatkan bermacam-macam ekspresi dari semua emosi dasar, termasuk kebahagiaan, perhatian, keheranan, ketakutan, kemarahan, kesedihan, dan kebosanan sesuai dengan situasinya.  Sejumlah emosi memang yang sudah berkembang sejak lahir, namun ada pula sejumlah emosi yang perkembangannya bergantung pada factor pematangan (naturation) dan pengalaman (belajar).
Eksperesi berbagai emosi pada bayi mempunyai peranan yang sangat penting bagi perkembangan anak. Tiga fungsi utama eksperesi emosi pada bayi tersebut adalah; fungsi adaptasi dan kelangsungan hidup, fungsi regulasi, dan fungsi komunikasi. Sehubungan dengan fungsi penyesuaian diri dan kelangsungan hidup, berbagai ketakutan adalah bersifat adaptif karena ada kaitan yang jelas antara gejolak  perasaan dengan kemungkinan bahaya. Berkaitan dengan fungsi pengaturan, emosi mempengaruhi informasi yang diseleksi anak-anak dari dunia persepsi dan perilaku yang mereka perhatikan. Anak-anak yang sedang bergembira misalnya, cenderung mengikuti apa yang sedang mereka pelajari di banding dengan anak-anak yang sedang sedih. Kemudian, berkaitan dengan fungsi komunikasi, anak-anak menggunakan emosi untuk menginformsikan pada orang lain tentang perasaan-perasaan dan kebutuhan-kebutuhannya (Desmita, 2010:117).

b.    Perkembangan Temperamen
Temperamen (tabiat, perangai) merupakan salah suatu dimensi psikologis yang berhubungan dengan aktivitas fisik dan emosional serta merespons. Menurut Purwanto (2007: 143) Temperamen adalah sifat-sifat jiwa yang sangat erat hubungannya dengan konstitusi tubuh. Santrock (2010: 160) menyatakan bahwa temperamen adalah gaya perilaku seseorang dan cara khasnya dalam memberi tanggapan.
Sejak lahir bayi memperlihatkan berbagai aktivitas individual yang berbeda-beda. Beberapa bayi yang sangat aktif menggerakan tangan, kaki, dan mulutnya tanpa henti-hentinya, tetapi bayi yang lain terlihat lebih tenang. Sebagian bayi merespon dengan hangat kepada orang lain, sementara yang lain cerewet, rewel, dan susuah diatur. Semua gaya perilaku ini merupakan temperamen seorang bayi.
Kebanyakan peniliti mengakui adanya perbedaan dalam kecenderungan reaksi utama, seperti kepekaan terhadap rangsangan visual atau verbal, respons emosional, dan keramahan dari bayi yang baru lahir. Peneliti Alexander Thomas dan Stella Chess (1977) misalnya, memperlihatkan adanya perbedaan dalam tingkatan aktivitas bayi, keteraturan dalam fungsi jasmani, pendekatan terhadap stimuli dan situasi baru, kemampuan beradaptasi denga situasi dan orang-orang baru, reaksi emosional, kepekaan terhadap rangsangan, kualitas suasana hati dan jangkuan perhatian.
Dari hasil penelitian ini, Alexander Thomas dan Stella Chess mengklasifikasikan temperamen atas tiga pola dasar. Pertama,  bayi yang bertemperamen sedang, menunjukan suasana hai yang lebih positif, keteraturan fungsi tubuh dan mudah beradaptasi dengan situasi baru. Kedua, bayi yang bertemperamen tinggi, memperlihatkan suasana hati yang negative, fungsi-fungsi tubuh tidak teratur, dan stress dalam menghadapi situasi baru. Ketiga, anak yang bertemperamen rendah, memiliki tingkat aktifitas yang rendah dan secara relative tidak dapat menyesuaikan diri dengan pengalaman baru, suka murung serta memperlihatkan intensitas suasana hatiyang rendah.
Pola-pola temperamen tersebut merupakan suatu karaktersitik tetap sepanjang masa bayi dan anak-anak yang akan dibentuk dan di perbaharui oleh pengalaman anak dikemudian hari, misalnya anak usia 2 tahun yang digolongkan secara ekstrim sebagai pemalu dan penakut, akan tetap  menjadi anak pemalu dan penakut pada usia 8 tahun. Hal ini menunjukan adanya konsistensi perkembangan temperamen sejak lahir. Konsistensi temperamen ini di tentukan oleh factor keturunan, kematangan, dan pengalaman, terutama pola pengasuhan orang tua (Desmita, 2010: 118).

c.    Perkembangan Attachement
Attachement adalah sebuah istilah yang pertama kali diperkenalkan oleh J. Bowly tahun 1958 untuk menggambarkan pertalian atau ikatan antara ibu dan anak (Jhonson dan Medinnus,1974). Menurut Martin Herbert dalam the social sciences encyclopedia, “attachemen mengacu pada ikatan anatara dua orang individu atau lebih, sifatnya adalah hubungan psikologis yang diskriminatif dan spesifik, serta mengikat seseorang dengan orang lain dalam rentang waktu dan ruang tertentu” (Kuper dan Kuper, 2000).
Bayi yang baru lahir telah memiliki perasaan sosial, yakni kecenderungan alami untuk berinteraksi dan melakukan penyesuaian social terhadap orang lain. Hal ini berkaitan dengan kondisi bayi yang sangat lemah pada saat lahir, sehingga ia sangat membutuhkan pengasuhan dari orang lain dalam mempertahankan hidupnya. Oleh sebab itu, tidak heran kalau bayi dalam semua kebudayaan mengembangkan kontak dan ikatan social yang sangat kuat dengan orang yang mengasuhnya, terutama ibunya.
Kontak sosial pertama bayi dengan pengasuhnya ini diperkirakan mulai terjadi  pada usia dua bulan, yaitu pada saat bayi mulai tersenyum ketika memandang wajah ibunya. Kemampuan bayi untuk tersenyum di usia dini tersebut berperan dalam memperkukuh hubungan ibu dan anak. Sebab dengan senyuman itu bayi ingin menyatakan pada ibunya bahwa ia mengenal atau mencintainya, dan karena itu akan mendorong ibu untuk membalas senyumanya, sehingga pada gilirannya masing-masing saling memperkuat respon social. Perkembangan awal kontak sosial pada bayi ini merupakan dasar bagi pembentukan hubungan social dikemudian hari (Einsenberg, 1994).
Kemudian saat bayi memasuki usia 3 atau 4 bulan mereka semakin memperlihatkan bahwa mereka mengenal dan menyenangi anggota keluarga yang dikenalnya dengan senyuman, serta dapat menerima kehadirian orang asing. Tetapi pada usia kira-kira 8 bulan muncul “objek permanen” bersamaan dengan kekawatiran terhadap  orang tidak dikenal, yang disebut dengan stranger anxety (perasaan malu terhadap orang yang tak dikenal). Pada masa ini bayi mulai memperlihatkan reaksi ketika didekati oleh orang yang tidak dikenalinya ( Mayers, 1996).
Setelah usia 8 bulan, seorang bayi dapat membentuk gambaran mental tentang orang-orang atau keadaan. Gambaran ini disebut skema, yang disimpan dalam memori dan kemudian diingatnya kembali untuk dibandingkan dengan situasi sekarang. Diantara skema yang  penting yang dimiliki bayi usia 8 bulan adalah skema tentang wajah orang yang dikenali, ketika mereka tidak dapat menerima wajah baru dalam skema ingatan ini, mereka akan menjadi sedih (Kagan,1984).
Pada usia 12 bulan umumnya bayi melekat erat pada orang tuanya ketika ketakutan atau mengira akan ditinggalkan. Ketika mereka bersama kembali, mereka akan mengumbar senyuman dan memeluk orang tuanya. Tidak ada tingkah laku social yang lebih mencolok dibanding dengan kekuatan ini, dan perasaan saling cinta antara bayi dan ibu ini disebut dengan attachement (keterkaitan) (Myers, 1996).
Para ahli riset dan klinis lebih menaruh perhatian pada dua jenis ikatan, yaitu keterkaitan dengan orang tua dan keterkaitan dengan anak-anak. Sudah diakui secara luas bahwa anak-anak secara psikologis terikat pada orang tua mereka.  Bayi-bayi manusia mula-mula mengalami keterkaitan denga ibunya dan tidak lama kemudian dengan orang dekat selain ibu dalam pertengahan kedua usia mereka yang pertama. Kebanyakan ahli psikologi perkembangan mempercayai bahwa attachemen pada bayi merupakan dasar utama bagi pembentukan kehidupan social anak dikemudian hari.
Keterkaitan tidak aman pada bayi berkaitan erat dengan pola pengasuhan dari ibunya yang kurang peka dan tidak responsive selama tahun pertama kehidupanya. Ibu pada bayi yang memperlihatkan keterkaitan tidak aman, cenderung lebih bereaksi berdasarkan keinginan atau perasaan mereka dari pada sinyal yang datang dari bayinya (Desmita, 2010: 119).

d.      Perkembangan rasa percaya (trust)
            Sesuai tahap perkembangan psikososial, tahun tahun pertama kehidupan ditandai oleh perkembangan rasa percaya dan rasa tidak percaya. Keadaan percaya pada umumnya mengandung tiga aspek yaitu :
1)        Bahwa bayi belajar percaya pada kesamaan dan kesinambungan dari pengasuh di luar dirinya
2)        Bahwa bayi belajar percaya diri dan dapat percaya pada kemampuan organg-orangnya sendiri untuk mengulangi dorongan-dorongan
3)        Bahwa bayi menganggap dirinya cukup dapat dipercaya sehingga pengasuh tak perlu waspada dirugikan
Dengan demikian, bayi yang memiliki rasa percaya dalam dirinya cenderung untuk memilih rasa aman dan percaya diri untuk mengeksplorasi lingkungan baru. Sebaliknya, bayi yang memiliki rasa tidak percaya cenderung tidak memiliki harapan-harapan positif.

e.    Perkembangan otonomi
Menurut Chaplin (2002) otonomi adalah kebebasan individu memilih untuk menjadi kesatuan yang bisa memerintah, menguasai dan menentukan dirinya sendiri. Otonomi atau kemandirian merupakan tahap kedua perkembangan psikososial yang berlangsung pada  masa bayi dan masa baru pandai berjalan. Otonomi dibangun diatas perkembangan kemampuan mental dan kemampuan motorik. Otonomi versus rasa malu dan ragu-ragu memiliki implikasi yang penting bagi perkembangan kemandiriran dan identitas selama masa remaja. Perkembangan otonomi selama tahun-tahun balita memberi remaja dorongan untuk menjadi individu yang mandiri, yang dapat memiliki dan menentukan masa depan mereka sendiri. Meskipun demikian, terlalu banyak otonomi sama bahayanya dennga terlalu sedikit otonomi (Desmita, 2010: 125).

C.  PERKEMBANGAN ANAK USIA 2-6 TAHUN
Periode kanak-kanak awal atau early childhood period (usia 2-6 tahun) merupakan usia prasekolah. Pada masa ini, pada umumnya anak-anak mulai menjalani masa pendidikan pada jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) baik pada jalur pendidikan formal maupun jalur pendidikan  non formal. Pada jenjang ini, anak-anak diberikan rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani maupun rohani dalam rangka mempersiapkan mereka agar memiliki kesiapan untuk memasuki pendidikan lebih lanjut, yaitu pada jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD).
Selama masa kanak-kanak awal, pertumbuhan fisik berlangsung lebih lambat dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan selama masa bayi (infacy period). Pertumbuhan fisik yang lambat ini berlangsung sampai mulai munculnya tanda-tanda pubertas, yakni kira-kira dua tahun menjelang anak matang secara seksual, di mana pertumbuhan fisik pada waktu itu kembali berkembang dengan pesat. Meskipun selama masa kanak-kanak secara umum pertumbuhan fisik mengalami perlambatan, namun ketrampilan-ketrampilan motorik kasar dan motorik halus justru berkembang pesat.

1.    Pertumbuhan dan Perkembangan Fisik
a.    Pertumbuhan dan perubahan bentuk tubuh
Prosentase kenaikan tinggi dan berat badan pada usia ini mulai menurun dibandingkan dengan masa sebelumnya (periode bayi). Perubahan atau prosentase tinggi dan berat badan badan tersebut terus berlangsung setiap tahun. Otot-otot perut menjadi lebih ramping karena mengalami pengetatan. Anak laki-laki cenderung memiliki kelebihan massa otot dibandingkan dengan anak perempuan. Seiring dengan bertambahnya tinggi badan, baik anak laki-laki maupun anak perempuan mengalami perampingan dan bentuk tubuh menjadi lebih atletis. (Danim, 2011: 46). Dalam kasus ini perlu untuk diketahui bahwa pertumbuhan fisik pada anak selalu bervariasi dan tidak sama. Hal ini disebabkan oleh dua faktor utama yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan fisik yaitu faktor hereditas (keturunan atau asal usul etnis)  dan asupan gizi.

b.    Perkembangan otak
Diantara perkembangan fisik yang sangat penting selama masa anak-anak awal ialah perkembangan otak dan sistem saraf yang berkelanjutan. Meskipun otak terus bertumbuh pada masa awal anak-anak, namun pertumbuhannya tidak sepesat pada masa bayi. Pada saat bayi mencapai usia 2 tahun, ukuran otaknya rata-rata 75% dari otak orang dewasa, dana pada usia 5 tahun, ukuran otaknya telah mencapai sekitar 90% otak orang dewasa. Pertumbuhan otak selama awal masa anak-anak disebabkan oleh pertambahan jumlah dan ukuran urat saraf yang berujung didalam dan diantara daerah-daerah otak. Ujung-ujung urat saraf itu terus bertumbuh setidak-tidaknya hingga masa remaja. Beberapa pertambahan ukuran otak juga disebabkan oleh pertambahan myelination, yaitu suatu proses dimana sel-sel urat saraf ditutup dan disekat dengan lapisan sel-sel lemak. Proses ini berdampak terhadap peningkatan kecepatan informasi yang berjalan melalui sistem urat saraf. Beberapa ahli psikologi perkembangan percaya bahwa myelination adalah penting pada perkembangan sejumlah kemampuan anak-anak (Desmita, 2010: 127-128).
Perkembangan otak dan sistem saraf pada anak usia dini juga terus berlangsung dramatis. Otak dan sistem syaraf anak-anak berkembang lebih baik, disertai dengan perkembangan perilaku dan kognitif yang lebih kompleks. Otak manusia terdiri dari dua bagian, yaitu belahan otak kanan dan otaak kiri yangbersifat literal. Literalisasi mengacu pada lokasi berbagai macam fungsi, kompetensi, dan keterampilan dalam salah satu bagian atau kedua belahan otak. Secara khusus bahasa, menulis, logika, dan matematika terletak di belahan otak kiri, sedangkan kreativitas, fantasi, artistik, dan musik terletak di belahan otak kanan (Danim, 2011: 46).  Secara lebih sederhana dapat dikatakan bahwa kelompok logika pada belahan otak kiri, sedangkan kelompok fantasi dan seni berada pada belahan otak kanan. Meskipun kedua belahan otak mungkin memiliki fungsi masing-masing, namun massa otak hampir selalu mengkoordinasikan fungsi dan bekerja sama. Kedua belahan otak juga berkembang dengan kecepatan yang tidak sama. Belahan otak kiri berkembang penuh pada masa kanak-kanak awal (2-6 tahun), adapun belahan otak kanan lebih lengkap pada masa kanak-kanak tengah (7-11 tahun).

c.    Perkembangan motorik
Perkembangan motorik (motor skills)  sangat berkaitan erat dengan perkembangan fisik anak. Motorik merupakan perkembangan pengendalian gerakan tubuh melalui kegiatan yang terkoordinir antara susunan saraf, otot, otak, dan spinal cord. Perkembangan keterampilan motorik meliputi keterampilan motorik kasar (gross motor skills) dan keterampilan motorik halus (fine motor skills). Motorik kasar adalah gerakan tubuh yang menggunakan otot-otot besar atau sebagian besar atau seluruh anggota tubuh yang dipengaruhi oleh kematangan anak itu sendiri. Contohnya kemampuan duduk, menendang, berlari, naik-turun tangga dan sebagainya. Sedangkan motorik halus adalah gerakan yang menggunakan menggunakan otot-otot halus atau sebagian anggota tubuh tertentu, yang dipengaruhi oleh kesempatan untuk belajar dan berlatih. Misalnya, kemampuan memindahkan benda dari tangan, mencoret-coret, menyusun balok, menggunting, menulis dan sebagainya. Kedua kemampuan tersebut sangat penting untuk dikembangkan agar anak-anak bisa berkembang dengan optimal.
Perkembangan fisik masa anak-anak ditandai dengan berkembangnya ketrampilan motorik tersebut, baik keterampilan motorik kasar maupun keterampilan motorik halus (Monks dkk, 1992: 100). Perkembangan motorik ini antara lain dapat dilihat dari perubahan kemampuan atau fungsi fisik untuk melakukan gerakan-gerakan tertentu. Misalnya saja, seorang anak yang berusia sekitar tiga tahun sudah dapat berjalan dengan baik, dan sekitar usia empat tahun anak hampir menguasai cara berjalan orang dewasa. Ketika kurang lebih telah berusia lima tahun anak sudah terampil menggunakan kakinya untuk berjalan dengan berbagai cara, seperti maju mundur, jalan cepat, dan pelan-pelan, melompat, berjingkrak, dan sebagainya yang semuanya dilakukan dengan lebih baik, halus, dan bervariasi. Pada usia sekitar lima tahun anak sudah dapat melakukan tindakan-tindakan tertentu secara akurat, seperti menangkap bola dengan baik, melukis, menulis, menggunting, melipat kertas, dan sebagainya.
Danim (2011: 47-48) menyatakan bahwa teori belajar observasional (Observational Learning Theory) yang dikembangkan oleh Albert Bandura dapat diterapkan pada pembelajaran motorik kasar dan halus bagi anak-anak prasekolah (masa kanak-kanak awal). Setelah anak-anak secara biologis mampu belajar perilaku tertentu, mereka harus melakiukan hal-hal berikut dalam rangka untuk mengembangkan keterampilan barunya:
1)      Mengamati perilaku orang lain
2)      Membentuk citra mental dari perilaku itu
3)      Meniru perilaku tersebut
4)      Praktik perilaku
5)      Termotivasi untuk mengulangi perilaku tersebut.
Dengan kata lain anak-anak harus siap, memiliki keterampilan yang memadai, dan tertarik untuk mengembangkan keterampilan motorik. Dengan cara ini anak akan menjadi kompeten pada keterampilan-keterampilan yang ingin atau akan dikuasai.

2.    Perkembangan Kognitif
Piaget dalam Desmita (2010: 101) membagi skema perkembangan kognitif yang digunakan anak untuk memahami dunianya melalui empat periode utama yang berkorelasi dengan dan semakin canggih seiring pertambahan usia:
a.    Periode sensorimotor (usia 0–2 tahun)
b.    Periode praoperasional (usia 2–7 tahun)
c.    Periode operasional konkrit (usia 7–11 tahun)
d.   Periode operasional formal (usia 11 tahun sampai dewasa)

Menurut Piaget, perkembangan kognitif pada periode  praoperasional (2-7 tahun) merupakan tahapan dimana anak belum mampu mengusai operasi mental secara logis. Yang dimaksud operasi mental adalah kegiatan-kegiatan yang diselesaikan secara mental bukan fisik. Periode ini ditandai dengan berkembangnya respresentasional atau ”symbolic function” yaitu kemampuan menggunakan sesuatu untuk mempresentasikan (mewakili) sesuatu yang lain dengan menggunakan simbol-simbol (kata-kata, gesture/bahasa gerak, dan benda). Dapat juga dikatakan sebagai ”simiotic function”, yaitu kemampuan menggunakan simbol-simbol (bahasa, gambar, tanda, syarat, benda, gesture atau peristiwa) untuk melambangkan sesuatu kegiatan, benda yang nyata atau peristiwa-peristiwa (Yusuf Ln., 2000: 169).
Meskipun anak-anak mengalami kemajuan tersendiri dalam berfikir secara simbolik sebagaimana tersebut di atas, namun perlu diketahui bahwa pemikiran mereka pada periode praoperasional ini masih mempunyai dua batasan penting yaitu egosentrime dan animisme. Egosentrime adalah ketidakmampuan untuk membedakan antara perspektif sendiri dan perspektif orang lain. Misalnya, seorang anak yang berusia empat tahun sedang berkomunikasi dengan ayahnya yang berada di tempat lain  melalui telepon. Ia (si anak) menunjukkan respons dengan mengangguk-anggukkan kepala untuk menyatakan setuju terhadap permintaan atau instruksi sang ayah, si anak tidak menyadari bahwa sang ayah tidak melihat anggukannya. Dalam hal ini si anak hanya menggunakan perspektif dirinya sendiri dan tidak mampu mempertimbangkan perspektif orang lain (sang ayah). Adapun yang dimaksud pemikiran animisme pada anak dalam periode praoperasional ini adalah keyakinan bahwa benda mati mempunyai sifat seperti makhluk hidup yang mampu bertindak atau melakukan sesuatu. Misalnya saja, seorang anak yang sedang berjalan tiba-tiba jatuh tersandung kursi, maka si anak bangkit dan memukuli kursi dengan mengatakan kursi jahat atau kursi nakal.
Anak-anak periode praoperasional merpakan anak-anak yang berpikir secara intuitif. Pemikiran intuitif pada periode praoperasional dimaksud adalah pemikiran primitiv, yakni anak-anak tampak mengerti atau mengetahui tentang sesuatu, namun mereka tidak sadar bagaimana mereka mengetahui apa yang mereka ketahui (mengetahui tanpa menggunakan pemikiran rasional). Dengan kata lain anak-anak periode praoperasional belum memiliki kemampuan untuk berpikir secara kritis tentang apa yang ada dibalik suatu kejadian.
Perkembangan kemampuan berbahasa pada anak-anak praoperasional juga terus mengalami perbaikan. Bahasa merupakan hasil dari kemampuan seorang anak untuk menggunakan dan memakai simbol-simbol sesuai dengan tingkat penalaran mereka. Sebagaimana otak manusia mengembangkan dan memperoleh kapasitas untuk berpikir representasional, anak-anak juga memperoleh dan memperbaiki kemampuan bahasanya. Beberapa peneliti telah mengukur kemampuan berbahasa dengan jumlah rata-rata kata dalam kalimat yang dikuasai oleh anak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin banyak anak menggunakan kata-kata dalam kalimat, maka akan semakin canggih perkembangan kemampuan bahasanya. Pada masa pra operasional ini anak-anak banyak belajar kata-keta baru. Orang tua, guru, saudara, temansebaya, dan media banyak memberikan kesempatan kepada mereka untuk meningkatkan penguasaan kosa kata. Dengan demikian dapat dipahami bahwa perolehan bahasa banyak terjadi dalam konteks sosial dan budaya. Orang tua, guru, dan orang dewasa lainnya mesti mengajari anak-anak bagaimana berpikir dan bagaimana bertindak yang dapat diterima secara sosial. Dengan demikian anak-anak belajar bahasa sekaligus belajar tentang masyarakat dan sebaliknya. Nilai-nilai, norma, adat istiadat yang disampaikan orang tua dan orang lain menunukkan bagaimana penggunaan bahasa (Danim, 2011: 52-53).
Pada semua usia, mengenal dapat dilakukan lebih baik dari mengingat, akan tetapi kedua kemampuan tersebut meningkat pada masa anak-anak awal. Pembentukan memori tentang pengalaman pada masa anak-anak awal jarang sekali yang terjadi secara disengaja. Anak kecil biasanya hanya mengingat suatu peristiwa yang memiliki kesan sangat kuat dan sebagian besar dari memori ini bersifat jangka pendek. Cara seorang anak membentuk memori permanen ada tiga tipe yaitu:
a.    Memori generik: memori yang menghasilkan script bagi rutinitas yang akrab untuk memandu perilaku. Script adalah catatan umum yang akrab dan berulang, dipergunakan untuk memandu perilaku. Misalnya: seorang anak bisa saja memiliki script untuk menaiki bus ke sekolah atau makan siang di rumah nenek.
b.    Memori episodis: memori jangka panjang tentang peristiwa yang kerap terjadi dan akrab, dihubungkan dengan tempat dan waktu.
c.    Memori autobiografis: memori tentang peristiwa tertentu dalam kehidupan seseorang. Misalnya: seorang anak mengingat saat dia pergi ke kebun binatang. Karena ke kebun binatang itu dia mengingat peristiwa baru dan unik, dia juga mengingat detail dari perjalanan tersebut hingga beberapa tahun.

3.    Perkembangan Psikososial
Perkembangan psikososial adalah perkembangan yang berkaitan dengan aspek-aspek psikologis seperti emosi, motivasi, dan perkembangan pribadi, serta perubahan dalam bagaimana individu berhubungan dengan orang lain. Terkait dengan perkembangan psikososial ini, anak-anak praoperasional akan mengalami situasi krisis dalam dirinya, yakni krisis antara timbulnya inisiatif berhadapan dengan rasa bersalah. Pada tahap ini, anak mulai belajar bertanggungjawab dan mengendalikan perasaan, sementara itu anak juga masih perlu menikmati kebebasannya. Apabila perkembangan rasa bersalah melebihi perkembangan inisiatif, maka anak akan menjadi anak yang diliputi rasa ragu-ragu (peragu). Pada situasi seperti ini, iklim sosio psikologis yang kondusif sangat dibutuhkan guna mendukung individu untuk mencapai perkembangan yang positif dan optimal.
Pada masa kanak-kanak awal, terutama masa prasekolah (mulai usia 4 tahun) perkembangan sosial anak sudah mulai tampak jelas, karena mereka sudah mulai aktif berhubngan dengan teman sebayanya.
Ciri-ciri perkembangan pada tahap ini adalah :
a.    Anak sudah mulai tahu aturan-aturan, baik dilingkungan keluarganya maupun dalam lingkungan bermain
b.    Sedikit demi sedikit anak sudah mulai tunduk pada peraturan
c.    Anak sudah mengetahui hak atau kepentingan orang lain
d.   Anak sudah mulai dapat bermain bersama anak-anak lain atau teman sebaya (peer group)
Pada masa ini kualitas hubungan sosial lebih penting daripada kuantitasnya. Kalau anak menyenangi hubungan dengan orang lain meskipun kadang-kadang saja, maka transformasi sikap yang diperoleh dari kontak sosial akan lebih baik daripada hubungan sosial yang sering tetapi sifat hubungannya kurang baik. Anak yang lebih menyukai interaksi dengan manusia daripada benda akan lebih mengembangkan kecakapan sosial sehingga mereka akan lebih populer dari pada anak yang interaksinya dengan manusia terbatas.
Aspek-aspek penting yang berkembang pada masa ini diantaranya adalah hubungan keluarga, hubungan dengan teman sebaya, permainan, perkembangan gender, dan perkembangan moral (Jahja, 2011: 191). Berikut ini akan dikemukakan pembahasan beberapa aspek tersebut yang berkaitan erat dan dapat mempengaruhi perkembangan psikososial individu pada masa kanak-kanak awal.

a.    Hubungan keluarga
 Hubungan keluarga sangat penting untuk perkembangan kesehatan fisik, mental, dan sosial terhadap anak-anak periode praoperasional yang sekaligus sebagai anak-anak prasekolah. Banyak aspek dan dimensi teknis yang memberi kontribusi bagi perkembangan psikososial anak-anak (Danim, 2011: 55). Perkembangan sosial anak sangat dipengaruhi oleh iklim sosio psikilogis keluarganya. Anak yang tumbuh di lingkungan keluarga yang saling memperhatikan dan saling membantu dalam menyelesaikan tugas-tugas keluarga, terjalin komunikasi yang harmonis di antara anggota keluarga serta konsisten dalam melaksanakan aturan, maka anak akan memiliki kemampuan atau penyesuaian sosial yang baik dalam menjalin hubungan dengan orang lain (Yusuf Ln., 2000: 170-171).
Fungsi keluarga terutama kedua orang tua antara lain adalah memberikan pengasuhan dengan baik kepada anak-anak. Tiap-tiap keluarga memiliki tipe dan gaya pengasuhan masing-masing terhadap anak-anak, di mana keluarga yang satu tentu berbeda dengan keluarga yang lain. Tipe pengasuhan keluarga (orang tua) sangat tergantung kepada standar budaya dan masyarakat, situasi, serta perilaku anak-anak pada waktu itu. Tipe pengasuhan ini merupakan aspek penting dalam hubungan keluarga dan memiliki dampak yang sangat luas terhadap perkembangan psikososial anak-anak terutama anak-anak periode praoperasional.
Hubungan keluarga (orang tua) dengan anak-anak dicirikan oleh derajat kontrol dan kehangatan. Berdasarkan derajat kontrol dan kehangatan tersebut, secara garis besar hubungan keluarga dapat dibedakan menjadi tiga tipe, yaitu:
1)      Tipe pengasuhan otoriter, yaitu tipe pengasuhan yang menunjukkan derajat kontrol yang tinggi dengan kehangatan yang rendah
2)      Tipe pengasuhan permisif, yaitu tipe pengasuhan yang cenderung menunjukkan derajat kontrol yang rendah dengan kehangatan yang tinggi
3)      Tipe pengasuhan demokratis, yaitu tipe pengasuhan yang menggunakan derajat kontrol yang relatif dengan kehangatan yang tinggi.
Masing-masing tipe pengasuhan tersebut di atas tentu saja memiliki kelebihan dan kekurangan. Misalnya saja, tipe pengasuhan otoriter akan cenderung menjadikan anak kurang percaya diri tetapi taat terhadap aturan dan tipe permisif dapat mendorong anak untuk tampil percaya diri tetapi cenderung tidak taat aturan serta suka berbuat seenaknya (semau gue). Adapun tipe pengasuhan demokratis, sampai saat ini masih dianggap sebagai tipe pengasuhan terbaik yang dapat meminimalisir kekurangan dan mengakomodir kelebihan dari dua tipe pengasuhan yang lain (otoriter dan permisif). Hal lain yang tidak kalah pentingnya, yang perlu disadari oleh para pendidik terutama orang tua adalah, bahwa pada fase Inisiatif vs merasa bersalah ini anak-anak membutuhkan tipe pengasuhan yang dapat membantunya tampil percaya diri, memiliki prestasi belajar yang baik, memiliki pengendalian dan pengawan diri sendiri, dapat bergaul dengan baik, serta mampu membedakan yang benar dan yang salah.

b.    Hubungan teman sebaya
Istilah teman sebaya lebih ditekankan pada kesamaan tingkah laku atau psikologis. Kontak awal yang baik dalam keluarga dapat menentukan anak-anak untuk membangun persahabatan dan hubungan dengan anak-anak yang lain. Anak-anak yang menerima pengasuhan yang baik dan penuh kasih sayang penya kecenderungan untuk dapat membangun hubungan yang baik dengan teman-teman sebayanya. Persahabatan memberikan kesempatan kepada anak-anak untuk belajar menangani situasi, belajar nilai-nilai, berbagi, dan mempraktikkan perilaku yang lebih matang. Anak-anak yang unggul dalam hal sebagaimana tersebut akan lebih populer di lingkungan teman-temannya. Mereka tidak hanya tahu memiliki teman tetapi juga tahu bagaimana menjadi seorang teman. Sementara itu anak-anak yang kurang bersahabat atau suka menciptakan permusuhan cenderung kurang populer di kalangan teman-temannya. Anak-anak yang egois disertai ketidakunggulan pada hampir semua kegiatan akan terasing dari teman-temannya atau mungkin saja bukan diasingkan, melainkan mengasingkan diri (Danim, 2011: 58).
Sejumlah penelitian telah merekomendasikan betapa hubungan sosial dengan teman sebaya memiliki arti yang sangat penting bagi perkembangan pribadi anak. Salah satu fungsi kelompok teman sebaya yang paling penting adalah menyediakan suatu sumber informasi  dan perbandingan tentang dunia luar diluar keluarga. Anak menerima umpan balik tentang kemampuan-kemampuan mereka dari kelompok teman sebaya. Anak-anak mengevaluasi apakah yang mereka lakukan lebih baik, sama, atau lebih jelek dari yang dilakukan oleh anak-anak lain. Mereka menggunakan orang lain sebagai tolok ukur untuk membandingkan dirinya. Proses pembandingan sosial ini merupakan dasar bagi pembentukan rasa harga diri dan gambaran diri anak (Desmita, 2010: 145). Relasi yang buruk diantara teman-teman sebaya pada masa anak-anak ini sering diasosiasikan dengan suatu kecenderungan perilaku nakal pada masa remaja. Isolasi sosial atau ketidakmampuan untuk melebur ke dalam suatu jaringan sosial pada usia tengah baya, diasosiasikan dengan kenakalan atau kelainan pada masa remaja, sebaliknya relasi yang harmonis diantara teman sebaya pada masa remaja diasosiasikan dengan kesehatan mental yang positif pada usia tengah baya.

c.    Permainan
Permainan adalah salah satu bentuk aktifitas sosial yang dominan pada masa anak-anak awal, sebab anak-anak menghabiskan waktu lebih banyak untuk bermain dibanding dengan terlibat aktifitas lain.  Kebanyakan hubungan sosial dengan teman sebaya yang terjadi pada masa ini juga terjalin dalam bentuk permainan. Desmita (200:141-142) mengemukakan tiga fungsi utama permainan sebagai berikut:
1)      Fungsi kognitif; melalui permainan anak-anak dapat menjelajahi lingkungannya, mempelajari objek-objek disekitarnya, dan belajar memacahkan masalah yang dihadapinya
2)      Fungsi sosial; permainan dapat meningkatkan perkembangan sosial anak
3)      Fungsi emosi; permainan memungkinkan anak untuk memecahkan sebagian dari masalah emosialnya, belajar mengatasi konflik batin dan kegelisahan
Berdasarkan observarsi terhadap anak-anak usia 2 hingga 5 tahun Patern menemukan 3 kategori permainan anak-anak sebagai berikut:
1)      Permainan unoccopied, anak memperhatikan dan melihat segala sesuatu yang menarik perhatiannya dan melakukan gerakan-gerakan bebas dalam bentuk tingkah laku yang tidak terkontrol
2)      Permainan onlooker, anak melihat dan memperhatikan anak-anak lain bermain
3)      Permainan pararel , anak bermain dengan alat-alat permainan yang sama, tetapi tidak terjadi kontak antara satu dengan yang lain atau tukar menukat alat permainan.
Anak-anak yang sedang bermain barada dalam suasana yang bebas. Suasana demikian memberikan kesempatan kepada mereka untuk menunjukkan kepribadian yang sesungguhnya, baik kepribadian sebagai individu maupun kepribadiannya sebagai anggota masyarakat. Permainan juga dapat menjadi sarana bersosialisasi bagi anak, yaitu sarana untuk mengintrodusir anak menjadi anggota masyarakat, agar anak bisa mengenal dan menghargai masyarakat. Dalam suasana permainan itu akan timbul  rasa kerukunan yang sangat besar manfaatnya bagi pembentukan sikap sosial sebagai manusia budaya.
Permainan dan situasi bermain memberi kesempatan kepada anak untuk mengukur kemampuan serta potensi sendiri. Ia belajar menguasai macam-macam benda, juga belajar memahami sifat-sifat benda dan peristiwa yang berlangsung dalam lingkungannya.  Mereka dapat menampilkan fantasi, bakat-bakat, dan kecenderungannya. Anak laki-laki bermain dengan mobil-mobilan, anak perempuan dengan  boneka-bonekanya. Jika diberikan kertas dan gunting kepada sekelomok anak-anak kecil, maka masing-masing anak akan menghasilkan “karya” yang berbeda, sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Di tengah permainan itu setiap anak menghayati macam-macam emosi. Mereka merasakan kegairahan dan kegembiraan dan tidak secara khusus mengharapkan prestasi-prestasi. Permainan mempunyai nilai yang sama besarnya dengan nilai seni bagi orang dewasa.
Permainan juga dapat menjadi alat pendidikan, karena selain d apat memberikan rasa kepuasaan, kegembiraan, dan kebahagian kepada anak, permainan juga memberikan kesempatan pralatihan untuk mengenal aturan-aturan permainan, mematuhi norma-norma dan larangan, dan bertindak secara jujur serta loyal. Semua ini diperlukan oleh anak sebagai persiapan bagi penghayatan “fair play” dalam pertarungan hidup di kemudian harinya.Dalam bermain anak belajar menggunakan semua fungsi kejiwaan dan fungsi jasmaniah dengan sepenuh hati. Hal ini sangat berguna untuk memupuk sikap serius dan bersunguh-sungguh pada usia dewasa dalam mengatasi setiap kesulitan hidup yang dihadapi sehari-harinya (Kartono, 1999: 122). Jelaslah bahwa permainan memiliki arti  penting dalam  membetuk karakteristik dan sebagai alat untuk  menuangkan  kreatifitas anak.

d.   Perkembangan gender
Kebanyakan anak mengalami sekurang-kurangnya tiga tahap dalam perkembangan gender. Pertama, anak mengembangkan kepercayaan tentang identitas gender, yaitu rasa laki-laki atau perempuan. Kedua, anak mengembangkan keistimewaan gender, sikap tentang jenis kelamin mana yang mereka kehendaki. Ketiga, mereka memperoleh ketetapan gender, suatu kepercayaan bahwa jenis kelamin seseorang ditentukan secara biologis, permanen, dan tak berubah-ubah. Pengetahuan tentang ketiga aspek gender tersebut dinamakan sebagai peran jenis kelamin, atau stereotip gender. Pada umumnya, secara psikologis anak mencapai ketetapan gender pada usia tujuh sampai dengan sembilan tahun (Desmita, 2010: 146-147). Jadi, dalam perkembangan psikososial ini anak akan belajar untuk mengembangkan kepercayaan identitas gender  sesuai dengan tugas dari perkembangan itu sendiri, yakni menbedakan jenis kelamin. Pada tahap ini anak akan bisa mengarahkan dirinya pada sikap jenis kelamin mana yang mereka kehendaki, yang pada akhirnya mereka akan memperoleh ketetapan gender.

e.    Perkembungan kepribadian dan moral
Masa ini disebut masa perlawanan atau masa krisis pertama. Krisis ini terjadi karena ada perubahan yang hebat dalam diri anak-anak, yaitu dia mulai sadar akan akunya, dia menyadari bahwa dirinya terpisah dari lingkungan atau orang lain, dia suka menyebut nama dirinya apabila berbicara dengan orang lain. Pada masa ini, berkembang kesadaran dan kemampuan untuk memenuhi tuntunan dan tanggung jawab. Oleh karena itu agar tidak berkembang sikap membandel anak yang kurang terkontrol, pihak orang tua perlu menghadapinya secara bijaksana, penuh kasih sayang, dan tidak bersikap keras.
Pada masa ini, anak sudah memiliki dasar tentang sikap moralitas terhadap kelompok sosial (orang tua, saudara, dan teman sebaya). Melalui pengalaman berinteraksi dengan orang lain, anak akan belajar memahami tentang kegiatan atau perilaku mana yang baik, diterima, dan disetujui atau perilaku mana yang buruk, yang tidak boleh, yang ditolak, dan tidak disetujui. Berdasarkan pemahaman itu, maka pada masa itu anak harus dilatih atau dibiasakan mengenal bagaimana dia harus bertingkah laku yang baik, seperti mencuci tangan sebelum makan, menggosok gigi sebelum tidur, berdoa sebelum makan, dan sebagainya (Yusuf Ln, 2000: 175).

D.  KESIMPULAN
Periode perkembangan yang merentang  pada usia 0-6 tahun dapat dikatakan sebagai periode perkembangan anak usia dini. Periode ini dimulai setelah melewati periode prenatal, yaitu  periode prakelahiran (prenatal period) yakni sejak dari pembuahan hingga kelahiran. Sesuai dengan klasifikasi periode perkembangan yang paling luas digunakan sebagaimana dikemukakan oleh Santrock (1993), periode ini (0-6 tahun) termasuk dalam klasifikasi periode bayi (infacy period) yaitu periode yang merentang antara usia 0-2 tahun dan  periode kanak-kanak awal (early childhood period) yang merentang antara usia 2-7 tahun.
Setidaknya ada tiga aspek penting yang dapat dilihat pada pertumbuhan dan perkembangan pada periode bayi, yaitu aspek fisik-motorik, aspek kognitif, dan aspek psikososial. Pada aspek fisik motorik, pertumbuhan dan perkembangan masa bayi tandai dengan pertumbuhan fisik yang sangat cepat, bahkan perubahan fisik yang paling cepat dibandingkan dengan periode-periode sesudahnya. Perkembangan bayi pada aspek ini juga ditandai dengan mulai berkembangnya beberapa refleks. Refleks-refleks tersebut merupakan modal dasar bagi bayi untuk mengadakan reaksi dan tindakan yang bersifat aktif. Beberapa dari refleks ini akan menghilang dalam waktu tertentu dan disebut refleks anak menusu atau refleks bayi. Sedangkan sebagian refleks yang tidak hilang disebut refleks permanen. Beberapa pola dan tingkah laku motorik pada bayi makin lama makin bertambah baik serta terkoordinasi, makin cermat, dan makin tepat. Kemampuan anak untuk dapat duduk, berdiri, berjalan, dan sebagainya tergantung pada kematangan system saraf dan otot, dan kesempatan untuk mempraktekkan kemampuan motorik. Walaupun kemampuan kematangan dapat berkembang tanpa pelajaran khusus, namun pembatasan kesemptan untuk mempraktekkan dapat menghalangi perkembangannya. Selain itu latihan khusus dapat memfasilitasi perkembangan motorik.
Hasil riset para ahli psikologi kognitif menyimpulkan bahwa aktivitas ranah kognitif manusia pada prinsipnya sudah berlangsung sejak masa bayi, yaitu pada rentang usia 0-2 tahun. Intelegensi sensori-motor dipandang sebagai intelegensi praktis (practical intelligence) yang bermanfaat bagi individu usia 0-2 tahun untuk belajar berbuat terhadap lingkungannya sebelum ia mampu berpikir mengenai apa yang sedang ia perbuat. Individu pada periode ini belajar bagaimana mengikuti dunia kebendaan secara praktis dan belajar menimbulkan efek tertentu tanpa memahami apa yang sedang ia perbuat kecuali hanya mencari cara melakukan perbuatan. Aspek psikososial juga mulai berkembang sejak masa bayi. Bayi mempelajari apa yang diharapkan dari orang-orang yang penting dalam hidupnya. Dia mengembangkan suatu perasaan mengenai siapa yang mereka senangi atau yang tidak mereka senangi dan makanan apa yang disukai dan yang tidak disukai. Beberapa sub aspek psikososial yang tampak mulai berkembang pada periode ini antara lain emosi, temperamen, attachement, rasa percaya (trust), dan perkembangan otonomi.
Periode atau masa kanak-kanak awal (2-6 tahun) termasuk dalam kategori praoperasional yang sekaligus merupakan periode prasekolah. Selama masa anak-anak awal, pertumbuhan fisik berlangsung lebih lambat dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan selama masa bayi (infacy period). Meskipun selama masa kanak-kanak secara umum pertumbuhan fisik mengalami perlambatan, namun ketrampilan-ketrampilan motorik kasar dan motorik halus justru berkembang dengan pesat.
Perkembangan kognitif pada periode kanak-kanak awal  (praoperasional) merupakan tahapan dimana anak belum mampu mengusai operasi mental secara logis. Yang dimaksud operasi mental adalah kegiatan-kegiatan yang diselesaikan secara mental bukan fisik. Periode ini ditandai dengan berkembangnya respresentasional atau ”symbolic function” yaitu kemampuan menggunakan sesuatu untuk mempresentasikan (mewakili) sesuatu yang lain dengan menggunakan simbol-simbol (kata-kata, gesture/bahasa gerak, dan benda). Dapat juga dikatakan sebagai ”simiotic function”, yaitu kemampuan menggunakan simbol-simbol (bahasa, gambar, tanda, syarat, benda, gesture atau peristiwa) untuk melambangkan sesuatu kegiatan, benda yang nyata atau peristiwa-peristiwa Meskipun anak-anak mengalami kemajuan tersendiri dalam berfikir secara simbolik sebagaimana tersebut di atas, namun perlu diketahui bahwa pemikiran mereka pada periode praoperasional ini masih mempunyai dua batasan penting yaitu egosentrime dan animisme. Egosentrime adalah ketidakmampuan untuk membedakan antara perspektif sendiri dan perspektif orang lain. Adapun yang dimaksud pemikiran animisme pada anak dalam periode praoperasional ini adalah keyakinan bahwa benda mati mempunyai sifat seperti makhluk hidup yang mampu bertindak atau melakukan sesuatu.
Terkait dengan perkembangan psikososial ini, anak-anak praoperasional akan mengalami situasi krisis dalam dirinya, yakni krisis antara timbulnya inisiatif berhadapan dengan rasa bersalah. Pada tahap ini, anak mulai belajar bertanggungjawab dan mengendalikan perasaan, sementara itu anak juga masih perlu menikmati kebebasannya. Apabila perkembangan rasa bersalah melebihi perkembangan inisiatif, maka anak akan menjadi anak yang diliputi rasa ragu-ragu (peragu). Pada situasi seperti ini, iklim sosio psikologis yang kondusif sangat dibutuhkan guna mendukung individu untuk mencapai perkembangan yang positif dan optimal. Pada masa ini, terutama masa prasekolah (mulai usia 4 tahun) perkembangan sosial anak sudah mulai tampak jelas, karena mereka sudah mulai aktif berhubngan dengan teman sebayanya. Aspek-aspek penting yang berkembang pada masa ini diantaranya adalah hubungan keluarga, hubungan dengan teman sebaya, permainan, perkembangan gender, dan perkembangan moral.



DAFTAR PUSTAKA
Danim, Sudarwan, 2011, Perkembangan Peserta Didik, Bandung: Alfabeta.
Desmita., 2010, Psikilogi Perkembangan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Jahja, Yudrik., 2011, Psikologi Perkembanga, Jakarta: Kencana.
Kartono,Kartini., 1999, Psikologi Anak, Bandung: Bandar Maju.
Mussen, Paul Henry., 1988, John Janeway Conger, Jerome Kagan, Aletha Carol Huston, Perkembangan dan Kebribadian Anak, Jakarta: Erlangga.
Monks, F.J. dkk, 1992, Psikologi Perkembangan: Pengantar dengan Berbagai Bagiannya, Yogyakarta: Gajah Mada Unisersity Press.
Purwanto, Ngalim., 2007, Psikologi Pendidikan, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Santrock, J.W., 2010, Psikologi Pendidikan , Jakarta: Kencana.
Soemanto, Wasty., 2006, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta.
Sukmadinata, Nana Syaodah, 2009, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sunarto & B. Agung Hartono., 2008, Perkembangan Peserta Didik, Jakarta: Rineka Cipta.
Syah, Muhibbin., 2008, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Yusuf Ln,  Syamsul., 2000, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung : Remaja Rosdakarya.